Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Aku Jatuh Cinta dengan Pancasila

1 Juni 2021   11:32 Diperbarui: 1 Juni 2021   16:37 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapitalisme yang mengandaikan persaingan sebagai mekanisme untuk pemenuhan permintaan dan penawaran,  akan mendorong individu atau swasta terus berkembang, kreativitas dan inovasi juga bertumbuh. Namun demikian, persaingan bebas juga menunjukkan watak kapitalisme yang tamak, hanya peduli dengan penumpukan modal dan keuntungan, sehingga berpotensi melahirkan eksploitasi kepada kaum lemah maupun terhadap lingkungan. 

Di sisi lain, sosialisme menawarkan kesetaraan dalam penguasaan faktor-faktor produksi, serta terjaminnya pemenuhan kebutuhan atas pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya, karena semua diatur oleh Negara. Tetapi kelemahan sistem ini adalah karena menafikkan aspek fitrah manusia dalam hal kepemilikan dan bersaing, sehingga kreativitas dan inovasi pun berpotensi terbatasi.

Sementara ekonomi Pancasila sebagaimana juga ekonomi Islam berpijak pada pandangan bahwa hak individu tetap diakui, tetapi ada pengendalian terhadap apa yang boleh dan tidak boleh dimiliki. Pada aspek inilah Negara hadir untuk tidak hanya berfungsi sebagai regulator semata, melainkan juga menguasai cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk kepentingan terpenuhinya kebutuhan rakyatnya.

Hak individual pada dasarnya sesuai fitrah penciptaan manusia yang dianugerahi akal dan hak otonom untuk menentukan nasibnya sendiri. Persaingan antar individu juga melahirkan kreativitas. 

Namun demikian, sistem kapitalisme  mengabaikan fakta bahwa sumber daya yang dimiliki setiap individu atau bahkan Negara di arena pasar bebas tidaklah sama, sehingga prinsip keadilan berpotensi dilanggar. Bagaimana mungkin misalnya, Negara-negara Afrika akan bisa bersaing secara adil dengan Negara-negara/masyarakat Amerika Utara yang jauh lebih maju. Dalam konteks ini, Negara harus hadir dan memberpihaki yang lemah.

Soal kepemilikan, tidak mungkin semuanya, termasuk sumber daya alam vital dikuasai pribadi atau swasta. Maka Negara mengendalikan dengan berpijak pada prinsip dasar sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Coba simak bunyi Pasal 33 Ayat 2, "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara". Lalu pada Ayat 3, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Prinsip ekonomi nasional ini adalah hasil pemikiran Bung Hatta, seorang pemikir yang juga ulama.

Tidak diperkenankannya individu atau privat group untuk menguasai cabang-cabang produksi vital ini senafas dengan sebuah hadits; "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Bahwa energi-energi vital yang yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak diperbolehkan untuk dikuasai individu atau swasta.  Dalam alam modern, padang rumput bisa saja berwujud produksi pangan, lalu air yang menjadi hajat dasar manusia, dan api adalah energi minyak, gas, listrik, uranium dan sejenisnya.

Sistem ekonomi Pancasila yang berprinsip ekletik juga tidak bisa dilepaskan dari konteks zaman di masa-masa formatif keIndonesiaan, di mana Negara-negara penganut sistem kapitalisme liberal tengah bersaing dengan para penganut sistem sosialisme/komunisme. Artinya, secara prinsip ekonomi Pancasila sebetulnya sangat ideal, meski pada implementasinya ekonomi Indonesia tampak lebih condong pada kapitalisme. Salah satu indikatornya adalah jerat hutang yang masih melilit Indonesia sejak Orde Baru sampai saat ini.

Tetapi apapun itu, sebagai anak bangsa saya tetaplah bangga dengan bagaimana para founding fathers dulu merumuskan dasar-dasar haluan bernegara. Mereka memandang jauh ke depan (visioner), tetapi sekaligus berpijak pada khazanah masa lalu yang kaya. Selamat Hari Lahir Pancasila, selamat menghayati kenangan tentang ideologa bangsa. []

________

Disadur dan edit kembali dari buku "Lawan Minder Raih Sukses"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun