Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Having or Being, Gontor dan Puasa Ramadhan

21 Maret 2021   15:29 Diperbarui: 21 Maret 2021   15:40 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Islam adalah agama yang tidak didikte oleh materi. Begitu kata Gus Baha (KH Bahauddin Nursalim) dalam sebuah ceramahnya. Ini keren sekali. Bahwa seorang Muslim itu semestinya hanya didikte oleh Allah, bukan oleh orang lain, lingkungan, keinginan dan kesenangan yang menjadikan perbuatannya terombang-ambing oleh situasi. Ini bukan soal menghadap-hadapkan yang duniawi (profan) dengan akhirat (sakral) secara oposisi biner, melainkan lebih dari itu adalah soal kemerdekaan eksistensial bagi manusia.

Salah satu riwayat yang dijadikan contoh Gus Baha adalah insiden yang menimpa Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah peperangan, Ali radiyallahu anhu yang sudah berada di atas angin mendadak mengurungkan niatnya membunuh musuhnya. Penyebabnya simpel, sesaat setelah musuh tersungkur dan Ali hendak menghunuskan pedangnya, lawannya ini meludahi wajah Ali. Maka Sayidina Ali memilih menyarungkan kembali pedangnya, sebab alih-alih karena Allah dan Rasulnya seperti semangat awal, justru nafsulah yang memotivasinya membunuh, meski di sebuah medan tempur.

Inilah manifestasi sikap bertauhid, yakni sebenar-benarnya meng-Esakan Allah. Pun sekaligus ini menjadi perwujudan sebagai Muslim, sikap tunduk patuh pada hukum dan ketentuan Allah (sunnatullah). Sebagai pemilik akal budi, semestinya manusia adalah raja atas keinginannya, bukan malah keinginan yang mengendalikannya. Meski kenyataan hidup pada era kapitalistik saat ini faktanya mungkin jauh panggang dari api dengan prinsip tersebut.

Secara umum, alam pikir manusia modern justru dituntun oleh keinginan dan angan-angannya, utamanya hasrat memiliki, hasrat konsumsi. Hebatnya lagi, pilihan untuk mengejar kepuasan tersebut sejatinya tak lebih sebatas apa yang tersaji dalam etalase kapitalisme. Bahkan dalam momentum keagamaan sekalipun.

Tengoklah suasana "Bergama" selama puasa dan terlebih lagi menjelang lebaran, praktis sebagian besar orang berlomba-lomba memenuhi keinginan dan kepuasannya. Maka ruh ibadah puasa yang semestinya mengajarkan hidup prihatin sebagai wujud mengempati kaum papa, justru bisa menjelma menjadi histeria massal mengkonsumsi.

Erich Fromm dan Gontor

Dalam dunia keilmuan, problem masyarakat modern ini telah banyak diulas oleh para teoritisi sosial kritis, salah satu yang menonjol adalah Erich Fromm dari Mazhab Frankfurt. 

Dalam bukunya "To Have or To Be", Erich Fromm mencoba menyajikan dua motif eksistensial manusia modern, yakni memiliki (having) atau menjadi (being). Buku ini pada dasarnya sebagai kritik atas kecenderungan masyarakat modern yang disebut Fromm terlampau didominasi oleh modus having. 

Masyarakat modern hidup dalam dominasi kebendaan yang akut, dengan orientasi pemenuhan hasrat kepuasan atas materi. Modus kepemilikan ini bahkan pada akhirnya menjelma menjadi penanda identitas manusia modern, sehingga sejatinya mencerabut manusia dari nilai eksistensialnya sebagai manusia.

Sebagai solusi, Fromm menawarkan modus being sebagai cara menjaga kewarasan di alam modern yang hedonis ini. Melalui konsep masyarakat being ini, Erich Fromm seolah ingin menegaskan kembali peran akal budi, aktif menggunakan dan mengolah batin (pikiran) nya, tidak terjebak dalam kehidupan yang mekanik. Selain ditandai dengan karakter mandiri, bebas, dan kritis, masyarakat being juga memberi ruang bagi hasrat tinggi dalam giving and sharing, serta bahkan berkurban satu sama lainnya.  

Lantas, apa kaitan modus Having or Being ini dengan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo? Penulis sendiri bukan alumni Gontor, hanya mengenal lewat beberapa kawan yang kebetulan alumninya. Sebagai pesantren dengan sistem pendidikan modern, Gontor telah menorehkan cerita sukses dan kiprah yang mengagumkan. 

Pertama, pondok dengan riwayat perjalanan panjang ini sempat timbul tenggelam, tetapi ketika akhirnya menemukan formula sistem pendidikan terbaiknya dan teruji beberapa tahun (mapan), para pemiliknya justru memilih mewakafkannya ke umat, sehingga terhitung sejak 1958 Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) resmi dikelola oleh badan wakaf. Sebuah pengorbanan yang amat besar dari Tirumurti Pimpinan Gontor saat itu. Alih-alih menjadikan Gontor yang besar itu sebagai aset keluarga, mereka memilih mendermakannya menjadi aset umat.

Dengan komitmen tersebut, para pemiliknya justru ingin agar Gontor terus menyebar mengepakkan sayapnya di seluruh pelosok nusantara dan mungkin dunia, sebagaimana selama ratusan tahun dicontohkan oleh Universitas Al-Azhar Kairo. 

Saat ini, Gontor telah melahirkan puluhan ribu alumni yang tersebar di seantero Indonesia, bahkan sebagian berkiprah di dunia. Para alumninya juga dikenal berkarakter khas Gontor, berwawasan ilmu tinggi (baik dari khazanah klasik Islam maupun modern), tetapi berpenampilan modern dengan stelan jasa yang necis. 

Tahun 2016 saja jumlah pondok alumni Gontor di Indonesia sudah mencapai angka 350 lembaga, dari yang kecil sampai dengan bersantri ribuan. Semua mengadopsi kurikulum khas Gontor, yakni Kulliyatul Mu'allimin/Mu'allimat al-Islamiyah (KMI), sebuah kurikulum pendidikan setingkat SMP dan SMA.

Di Kabupaten Batang, juga berdiri Pondok Modern  Tazakka sejak sekitar tahun 2009.  Pondok ini juga awalnya Yayasan milik keluarga, tetapi kemudian dikelola dengan sistem wakaf oleh tiga kakak beradik alumni Gontor, yakni Anang Rikza Mayshadi, Anizar Masyhadi, dan Anisia Kumala Masyhadi, mereka juga alumni Al-Azhar Kairo. Meski sebagai pondok modern relatif baru, namun kiprah mereka cukup sukses, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga dunia. Dan mereka sangat bangga dengan Gontornya.

Itulah jejak nyata dari Gontor, bahwa selain keputusan para pemimpinnya untuk mewakafkan aset pondok, mereka pun membiarkan para alumninya bertumbuh menjadi besar di luar. Tetapi hebatnya, sebesar dan semaju apapun pondok alumni, mereka tetap sangat bangga dengan almamaternya dan semua berafiliasi ke Gontor. 

Menurut penulis, inilah salah satu perwujudan dari to be, sebuah modus eksistensial untuk memberi dan berbagi serta berkurban, dengan meminimalkan hasrat memiliki dan menguasai untuk kepuasan para pemiliknya. Dan betapa berbahagianya para perintis dan pendiri Gontor dulu, mereka memang telah tiada, tetapi investasi kebaikan (jariyah) nya insya Allah terus mengaliri mereka di alam baqa.


Pendidikan Ramadhan

Soal hasrat memiliki dan menguasai (having) sebetulnya bagian dari naluriah yang melekat inherent dalam penciptaan manusia (futrah). Bahwa selain dibekali piranti bernalar (akal budi), manusia juga diberikan perangkat nafsu (personal desire). 

Karena dengan hasrat itulah manusia bisa berkreativitas dan berinovasi untuk berkembang dan maju sebagai pengelola bumi (khalifatullahu fil ardhi). Sebut saja, praktis semua capaian peradaban modern yang maju sekarang ini, semuanya bermula dari mimpi dan ambisi manusia. Dalam batas ini, keinginan dan angan-angan adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi.

Tetapi patut juga diperhatikan bahwa nafsu, keinginan, dan angan-angan ini selalu berpotensi liar, karena ia tak pernah habis diburu. Ibarat lorong labirin tak berujung, pun unstoppable.

Maka jangan heran, pejabat ataupun politisi yang sudah kaya raya masih saja ada yang korupsi, bahkan meski nilai korupsinya terbilang kecil dibandingkan aset yang sudah dipunyainya. Keinginan yang tak dikendalikan, berpotensi melahirkan ketamakan.

Seperti nenek moyang kita, Adam As dan istrinya, yang meski telah dianugerahi berjuta kenikmatan di surga, tetap saja gagal  mematuhi satu-satunya larangan dari Allah, yakni mendekati sebuah pohon. 

Jadi dengan potensi nafsunya, manusia punya kecenderungan memikirkan apa yang tak ada hingga gagal mensyukuri apa yang ada. Potensi serakah ini juga disebut Rasulullah dalam haditsnya, bahwa seandainya manusia diberikan satu jurang emas, maka dia akan meminta jurang kedua dan ketiga, dan yang bisa mengakhiri hanyalah tanah (kematian).

Karena kecenderungan nafsunya yang liar itulah, Allah menurunkan syariat puasa. Sejak dulu, manusia dilatih untuk mengontrol nafsunya melalui puasa. Puasa adalah salah satu ritus ibadah tertua yang tidak khas untuk umat Muhammad Saw, melainkan juga dijumpai di masa Nabi Nuh, Nabi Musa, Daud, hingga Isa. Bahkan sampai kini sekalipun, umat Yahudi dan Kristiani masih mengenal ibadah puasa.

Dengan puasa inilah kita dididik untuk mengendalikan keinginan dan angan-angan, sehingga ia tidak menjadikan kita tamak dan eksploitatif. Gambarannya bukan hanya saat berlapar dan berdahaga ria di siang hari, melainkan justru menjelang waktu berbuka puasa. 

Menjelang berbuka, bahkan mungkin direkam sejak siang, banyak angan-angan soal makanan dan minuman yang ingin kita hadirkan di meja makan untuk berbuka nanti. Padahal, saat waktu itu tiba, segelas teh manis dan tiga biji kurma atau sepotong roti atau mungkin gorengan, itu sudah amat cukup membuat kita bahagia.  

Maka dengan ibadah puasa, semestinya kesadaran kita tak melulu terjebak pada modus to have, melainkan justru to be. Karena dari laku puasa, menahan keinginan, kita menjadi belajar skala prioritas tentang apa yang sesungguhnya kita butuhkan untuk bahagia. Ya seperti saat berbuka itu. 

Kalau kebutuhan itu telah terpenuhi, maka kita bisa mengalokasikan kelebihan yang kita punya untuk para tetangga atau orang-orang yang selama ini terbiasa lapar karena memang kekurangan. Dan lagi-lagi, di setiap kesempatan kita memberi dan berbagi, kita juga akan merasakan kebahagiaan tertentu, seperti saat berbuka puasa.

Lalu, kenapa pikiran Erich Fromm sejalan dengan apa yang telah dilakukan Gontor? Kenapa pula keprihatinannya soal masyarakat modern yang didominasi oleh modus memiliki juga senafas dengan nilai-nilai puasa. Apakah Erich Fromm seorang Muslim, apakah ia juga berpuasa? Pertanyaan ini jelas tidak penting. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun