Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terima Kasih, Emak....

22 Desember 2020   12:38 Diperbarui: 21 Desember 2021   23:21 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari: https://www.bennyinstitute.com

 SECARA fisik, seorang laki-laki mungkin lebih kuat dari perempuan. Suami lebih kuat dari istri, ayah lebih kuat dari ibu. Tetapi soal bersabar dengan kekuatannya, sepertinya kita --kaum laki-laki- mesti belajar dari perempuan.

Jangan bicara soal mengandung, melahirkan, dan menyusui, karena kita mustahil mampu menandinginya. Mungkin salah satu perbandingan yang lebih adil adalah saat menggendong anak kita yang masih kecil, khususon saat si bayi tengah rewel merajuk; entah sangat mengantuk tapi menolak tidur, atau sedang sakit. 

Seorang ayah mungkin hanya mampu bertahan menggendong sambil me-lela lelo tidak lebih dari setengah jam. Tangan terasa pegal dan tak nyaman menahan beban. Tapi tengoklah istri kita, ibunya, dia mampu bertahan menggendong buah hatinya lebih dari dua jam. 

Setidaknya pengalaman ini yang saya buktikan sendiri. Apakah fisik ibu lebih kuat dari ayah? Sekali lagi: tidak! Dalam kamus patriarkhi, perempuan bahkan diidentikkan sebagai kaum lemah yang posisinya melulu subordinat. Tetapi kembali lagi, ini soal betapa dengan kekuatan fisik yang terbatas, seorang ibu mampu bertahan melebihi pertahanan kesabaran para laki-laki, suami.

Pengalaman ini ternyata tidak hanya dalam urusan menggendong bayi. Seorang ibu bisa mengurusi anaknya sambil menyelesaikan pekerjaan rumah: mencuci, menyapu dan mengepel lantai, memasak, belanja, piknik, sampai kondangan. Wahai para suami, akuilah betapa super powernya ibu dari anak-anak kita. 

Bakat multitaskingnya riil di depan mata kita, bukan dongeng. Bahkan, di saat malam, ketika secara fitrah tubuhnya harus beristirahat setelah lelah seharian menyelesaikan pekerjaan rumah sambil momong anak, seorang ibu tetap saja menjadi sosok paling siaga bagi bayi yang sedang dikeloninya. 

Saat anak nglilir dan menangis, ibu reflek terbangun, meski belum genap satu jam matanyaa terpejam. Bagi para laki-laki, bayangkan betapa peningnya kepala ketika terpaksa bangun sebelum tidur belum benar-benar mapan.

Belum lagi, kalau si anak juga pup, ibu tak harus menunggu fajar menyingsing untuk menyeboki dan memakaikannya pampers yang baru. Saat adegan rutin ini berlangsung, tidak sedikit para suami yang tengah asyik mendengkur dengan nikmatnya. Tidurnya sama sekali tak terusik dengan tangisan si buah hati. 

Suatu siang, saat ibu sudah menyesaikan aktivitas memasak, mencuci baju dan piring, lalu menidurkan si kecil yang telah kenyang disusui, tiba giliran untuk makan. Tapi baru satu suapan di mulut, anaknya terbangun, apa yang dilakukan sang ibu? Dia berlari dari meja makan ke kamar tidur. Tak peduli betapa lelahnya, tak menggubris perutnya yang butuh asupan makanan, bahkan air putih belum sempat diteguknya.

Waktu kecil dulu, di tengah kondisi ekonomi keluarga kami yang pas-pasan, acara selamatan atau kenduri tetangga selalu menjadi berkah yang mewah. Saya bersama empat bersaudara tidak sarapan pagi, menunggu Bapak kembali dari walimatul ursy atau sejenisnya. 

Lalu satu besek yang dibawa pulang Bapak akan dibagi rata lauknya untuk kami makan; Bapak dan kami, kelima anaknya. Satu potong telur ayam rebus bisa dipotong menjadi enam bagian. Dan Emak kami, pasti beralasan belum lapar, menunggu ada sisa lauk untuk dimakan. Selalu seperti itu.

Di lain episode, saya meminta tambahan sangu ke Bapak, karena hendak berangkat ke Bogor diantar Kakek. Bapak langsung menjawab tak ada, karena memang sedang tak ada uang. 

Emak lantas menarik tangan Bapak ke ruang belakang, menjauh dari hadapanku. Selang beberapa menit, Bapak memberikanku tambahan sangu. 

Saat itu, saya tak benar-benar tahu behind the scene dari kronologis uang sangu yang dari tidak ada menjadi ada. Tetapi beberapa tahun kemudian barulah aku tahu, ternyata Bapak meminjam ke tetangga. Kok seniat itu? Ternyata Emak lah yang meminta dan merajuknya ke Bapak.

Kenapa seorang Ibu sedemikian hebatnya memperjuangkan kebahagiaan kita, anak-anaknya? Menjadikan kita sebagai prioritas, melampaui ingin dan angannya. Jawabannya adalah karena kasih sayang. 

Benarlah ungkapan yang meyebut; seorang Ibu sanggup merawat 10 anaknya dengan maksimal sampai tumbuh besar, tetapi 10 anak belum tentu mampu merawat seorang ibu dengan baik.

Ya Tuhanku, janganlah engkau putus kasih sayang untuk mereka, sebagaimana mereka tiada lelah dan tiada menyerah mendidik kami sedari kecil.

Terima kasih, Emak...

Terima kasih, Emak...

Terima kasih, Emak...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun