BERUNTUNGLAH menjadi bagian dari Islam Indonesia. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, semangat keberagamaannya juga dikenal kaya dengan ekspresi budaya. Tak terkecuali terkait syariat Hari Raya Iedul Fitri yang dirangkai dengan tradisi Syawal yang khas di bumi nusantara. Menariknya, tradisi dimaksud tidak hanya berorientasi ke dalam, tetapi juga memiliki fungsi di ruang sosial.
Tengoklah suasana di kampung-kampung, di gang-gang, ada euphoria berhari raya yang menggembirakan. Semua saling bertandang, tak hanya dengan keluarga dan saudara, tetapi juga tetangga dan kerabat sosial lainnya.Â
Konon, Â tradisi ini hanya ada dan karenanya otentik menjadi khazanah Islam Indonesia. Di Timur Tengah sendiri, bahkan di Arah Saudi, suasana selepas shalat Iedul Fitri adalah lengang, tak ada perayaan sosial khusus. Â
Karena Iedul Fitri sendiri secara etimologis bermakna kembali makan (karena kata fitri masih satu akar kata dengan ifthar), terutama setelah selama sebulan berpuasa Ramadhan. Sementara secara filosofis, Iedul Fitri bisa mengandung makna kembali kepada kesucian asal manusia, seperti halnya Adam dan Hawa saat masih di surga.
Di nusantara, suasana berhari raya berlangsung panjang, tidak hanya di Hari H lebaran, tetapi bahkan hingga sepanjang Bulan Syawal. Maka lahirlah tradisi keagamaan khas bernama halal bi halal, yang terjemahan bebasnya bisa disimpulkan sebagai ikhtiar saling menghalalkan khilaf dan alpa.
Seperti makna ibadah lainnya, Iedul Fitri juga tidak berhenti pada dimensi personal, meski Tuhan telah menegaskan keistimewaan puasa Ramadhan sebagai cermin keintiman hamba dengan Sang Pencipta.Â
Namun hal itu tetap tak menghilangkan aspek sosialnya. Bahkan, seintim-intimnya puasa Ramadhan, ia dipungkasi dan disempurnakan dengan zakat fitrah, yang muaranya memberdayakan yang masih dhuafa. Budayawan Kuntowijoyo bahkan menyebut proses tersebut sebagai lompatan quantum, yakni dari kesucian personal ke sosial.
Refleksi dari kesucian ruang sosial itu lantas ditradisikan dalam momentum bernama halal bi halal. Bahwa setelah puasa sukses membereskan hablum minallah, hubungan vertikal manusia dengan Tuhan yang personal, selanjutnya adalah membereskan urusan haqul Adami, hubungan horizontal antar sesama atau hablum minan nas. Halal bi halal bertolak dari keinsafan atas hubungan antar sesama yang tak selamanya mulus, maka itu ditebus dengan komitmen saling menghalalkan khilaf dan alpa. Â
Inilah tradisi khas Muslim Indonesia yang tak dikenal di belahan negeri Muslim manapun. Maka meski tak secara eksplisit diatur dalam teks agama, tetapi tradisi halal bi halal sejatinya memuat nilai-nilai substansi keagamaan yang kental, utamanya menyangkut ajaran menjaga silaturahim.Â
Kalau hari raya idul fitri diatur dalam syariat agama, maka halal bi halal adalah ekspresi khas Muslim Indonesia atas pelaksanaan syariat itu sendiri. Halal bi halal adalah bagian dari ruang rehabilitasi kualitas hablum minan naas kita sebagai makhluk sosial.
Dalam fungsinya sebagai instrument sosial, halal bi halal bahkan menawarkan komitmen yang luar biasa. Bukankah meminta maaf maupun memaafkan pada prakteknya tidaklah mudah? Sampai-sampai ada ungkapan bijak; "Butuh keberanian untuk meminta maaf dan dibutuhkan keikhlasan untuk memberikan maaf". Tetapi lihatlah, di momen Iedul Fitri, di momentum Syawal ini, perkara maaf dan memaafkan menjadi amat ringan diberikan, bahkan diobral dengan bebas.