Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mudik Perdanaku yang Horor

2 Juni 2019   20:50 Diperbarui: 2 Juni 2019   21:11 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak lama, aku ikut berebut menaiki bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) jurusan Tegal, PO Dedy Jaya. Tak perlu beli tiket di loket, langsung bayar di bus nanti. Duduklah aku di kursi tengah. Tapi selesai masalah yang satu, muncul masalah berikutnya. Kali ini berhubungan dengan pedagang asongan, yang menjajakan obat anti mabok, permen, susu, sampau tisu. Dia masuk ke bus saat seluruh kursi telah terisi, sebelum melaju tentunya. Begitu baik, dia lansgung melemparkan satu persatu dagangannya, seperti tisu dan permen tolak angin ke penumpang di kanan dan kiri.

Pikirku, dia hanya menawarkan. Tetapi rupanya beberapa penumpang dipaksa untuk membeli, termasuk aku. Merasa telah membawanya di tas, akupun mengacuhkannya. Tetapi si penjual marah dan memaksaku membelinya. Berbekal pengalaman dengan penjual jam tadi, aku berani menggertak balik. Entah karena modal si abang cuma main gertak, atau karena mengejar waktu. Nyatanya, beberapa penumpang sukses dipaksa membeli dagangannya. Termasuk lelaki di seberang kursi, meski usianya telah dewasa, dia kalah mental dengan gertakan si pedagang asongan.

Sang sopir menempati kursinya. Bus Dedy Jaya pun melaju keluar terminal. Bagi pemudik sepertiku, proses ketika bus mulai beranjak dari terminal adalah salah satu momen paling membahagiakan. Seolah-olah si bus bicara: "Saatnya, pulang kampung".  Benar saja, perjalanan darat sekitar 300 an kilometer itu benar-benar menyenangkan, menikmati setiap sudut jalan, menikmati lalu lalang bus lainnya, hingga suasana di rest area. Kenikmatannya seolah mengobati ketegangan saat di terminal tadi, meski tetap saja memori itu tak pernah bisa dihiangkan.

Apakah aku trauma? Mungkin ada sedikit, minimal lebih waspada. Tetapi pengalaman itu tak lantas membuatku kapok mudik sendirian. Apalagi mengalami suasana di bus ekonomi, seisi ruangan mendadak serupa keluarga baru. Ada interaksi, ada berbagi, ada percengkramaan yang intim. Semua diikat oleh imajinasi yang sama: kerinduan atas kampung halaman.

Sayangnya, suasana sosial demikian kian sulit ditemui di moda transportasi kereta api. Apalagi yang kelas executive. Sepanjang perjalanan, penumpang sebelah bisa saja tak menyapa. Karena begitu duduk, yang pertama dikeluarkan adalah gadget dan sepanjang perjalanan, kita mungkin lebih asyik berinteraksi di dunia maya ketimbang dengan teman nyata di sebelah kita. Selamat menikmati mudik, selama menikmati suasana yang ngangeni. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun