KESETIAAN mungkin menjadi hal yang amat mahal dalam politik. Terlebih di era ketika ideologi dan platform antar partai menjadi kian tipis dan kabur. Nilai trust pun menjadi amat bernilai di tengah tabiat menutup bohong dengan kebohongan lainnya. Mari belajar dari Abu Bakar As-Shidiq, salah satu sahabat spesial Nabi Saw yang lekat dengan kualitas kesetiaan dan kepercayaan yang mengagumkan.
Menurut beberapa riwayat, nama asli beliau adalah Abdullah bin 'Utsman bin 'Amir bin 'Amr bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taiym bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay Al Qurasyi At Taimi. Dia termasuk golongan As-Sabiqunal Awalun, generasi yang pertama-tama mengimani Islam yang dibawa Rasulullah Saw. Meski usianya dua tahun lebih muda dari Nabi, tetapi Abu Bakar termasuk kelompok sahabat yang dituakan dan dihormati.Â
Belum lagi, hubungan kekerabatan juga terjalin dengan Muhammad Saw. Tidak saja karena bertemu nasabnya dengan Nabi pada kakek buyut, lebih dari itu anak Abu Bakar, Aisyah, pun menjadi istri Nabi.
Tetapi terlepas dari itu, lekatnya hubungan Abu Bakar dengan Rasulullah juga terbangun melalui proses keterlibatan dan perjuangan dakwah, dari fase paling berat, sampai ketika Islam telah diterima menjadi keyakinan masyarakat Jazirah Arab. Kesetiaan Abu Bakar nyaris tak tertandingi, dia menjadi generasi pertama yang berani mengimani Islam di saat masa kritis.Â
Sebagai salah satu bangsawan Quraisy terpandang, Abu Bakar tak hirau dengan besarnya resiko dan ancaman atas keputusannya memeluk agama baru. Padahal, di masa itu, pemuka-pemuka Quraisy sangat memusuhi Nabi, menyiksa siapapun dari kelompok bawah yang berani berpindah keyakinan.
Lantas, apa yang mendasari kesetiaan Abu Bakar sehingga memilih memeluk Islam sejak awal. Tidak lain karena keyakinan nalar dan hatinya atas sosok Muhammad, yang sebelum diangkat sebagai Nabi dan Rasul, bahkan sejak belia telah memukau masyarakat Quraisy dengan lakunya yang sangat jujur, sehingga digelari Al amin. Rekam jejak Muhammad yang berintegritas tingggi, hingga tak sekalipun pernah tercatat menyampaikan dusta, inilah yang membuat Abu Bakar tidak bisa tidak untuk mengimani wahyu yang disampaikan Rasulullah. Baginya, kalau selama ini 100 % ucapan dan laku Muhammad adalah jujur dan benar, maka demikian sama derajatnya dengan risalah Islam yang dibawanya.
Salah satu ungkapan Abu Bakar yang popular dan dicatat sejarah, yakni "Jika ia (Muhammad) berkata demikian, maka itu benar". Abu Bakar karenanya selalu tampil di garda depan, sebagai orang yang membenarkan Nabi, bahkan di saat mayoritas kaum Quraisy menentangnya. Maka diapun digelari As-Shidiq, yang membenarkan.
Salah satu momen paling dramatis dari sikap Abu Bakar yang selalu membenarkan Nabi itu, dicatat sejarah usai peristiwa Isra Mi'raj. Peristiwa mukjizat yang digambarkan sebagai perjalanan panjang Nabi dari Masjidil Haram (Mekah) ke Masjidil Aqsa (Palestina) dan naik ke Sidratul Muntaha, yang ditempuh hanya dalam sepertiga malam, memang menjadi ujian berat bagi generasi Islam awal. Jangankan kaum kafir Quraisy yang seolah kian mendapatkan legitimasi untuk menganggap Muhammad gila. Sebagian pengikut Nabi pun dikabarkan balik kanan ke ajaran lamanya, karena menilai sangat sulit mencerna isra mikraj di masa teknologi transportasi kuda dan unta. Ketika Abu Bakar menerima kabar itu, tanpa ragu sedikitpun, spontan dia berucap;  "Jika ia (Muhammad) berkata demikian, maka itu benar". Itulah kesetiaan yang amat berat dicarikan padanannya.
Sebagai saudagar kaya, sebagian harta Abu Bakar juga disumbangkan untuk kepentingan dakwah Nabi. Dia bahkan tercatat sebagai sahabat yang paling banyak memerdekakan hamba sahaya yang disiksa empunya karena memilih tauhid. Salah satu yang fenomenal tentu saja Bilal bin Rabah, budak hitam legam Habasyah. Shahabat lainnya, Umar bin Khattab, bahkan mengaku kalah jauh dari Abu Bakar dalam hal kedermawanannya.
Momen dramatis berikutnya adalah saat peristiwa hijrahnya Nabi Saw dan pengikutnya dari Mekah ke Madinah, karena keberlangsungan dakwah Islam yang terancam. Selain menyedekahkan hampir seluruh hartanya untuk kepentingan hijrah, Abu Bakar pula satu-satunya shahabat yang menemani Nabi Saw menempuh perjalanan panjang melintasi padang pasir yang panas. Perjalanan mereka bahkan amat berat karena pasukan Quraisy yang mengejar keduanya.Â