Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Karena Erich Fromm, Aku Terpesona dengan Nurcholish Madjid

27 Mei 2019   23:22 Diperbarui: 27 Mei 2019   23:28 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DUA tokoh itu tak memiliki hubungan pemikiran secara langsung. Tetapi kronologi aku jatuh cinta dengan pemikiran Nurcholish Madjid benar-benar tak bisa dilepaskan dari pengaruh Erich Fromm, salah satu pemikir paling menonjol dari Mazhab Franfrut. Pada akhirnya, pemikiran Cak Nur benar-benar membuatku terpesona. Dia adalah sedikit dari cendekiawan Muslim Indonesia yang berhasil mewariskan bangunan pemikiran yang utuh tentang konsep keislaman dan keindonesiaan.

***

Di sekitar 2004, aku yang sudah memasuki semester empat Program Studi Sosiologi di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, diminta dosen pembimbing untuk segera mengajukan judul proposal penelitian. Sesuai prosedur, tiga opsi judul harus diajukan. Saat itu, buku-buku Erich Fromm sedang digandrungi banyak aktivis kampus, terutama lewat salah satu buku monumentalnya, The Art of Loving.  

Bisa ditebak, aku menjadi salah satu yang terpengaruh. Buku-buku karya Fromm kuburu sampai Jogja, hingga dua dari tiga judul yang kuajukan sebagai proposal penelitian adalah studi pemikiran tokoh teori sosial kritis itu. Yang tak lazim adalah satu judul lainnya, tanpa perencanaan sebelumnya, tiba-tiba saja kutuliskan usulan judul; Islam dan Negara: Studi Pemikiran Nurcholish Madjid.

Mungkin benar, tidak ada hal yang kebetulan. Karena mekanisme takdir akhirnya bekerja. Alih-alih memutuskan usulan judul mana yang akan kujadikan obyek penelitian, dosen pembimbing malah menyatakan ketiga judul layak untuk dilanjutkan. "Silahkan, Mas Saefudin pilih sendiri, judul mana yang mau diambil," kata sang dosen di hadapanku.

Aku yang tak sebelumnya tak membayangkan kemungkinan itu, lagi-lagi membuat keputusan spontan. Cak Nur lah yang kupilih. Dan deal, dosen pun mengamini. Selanjutnya bisa ditebak, buku-buku Fromm yang menumpuk kusingkirkan ke rak, giliran aku memburu karya-karya pendiri Universitas Paramadina itu.

Sejak itu, aku mulai berinteraksi intens dengan buku-buku Cak Nur yang cukup banyak. Secara perlahan, semakin dalam aku melahap buku-buku Cak Nur, semakin aku terkagum-kagum dengan pemikiran Nurcholish Madjid yang ternyata memiliki akar pondasi yang kuat, baik pada khazanah klasik keislaman, metodologi modern, dan latar keindonesiaan.

Sayangnya, di tengah proses penyelesaian skripsi, sang Guru Bangsa wafat, tepatnya pada 29 Agustus 2005. Aku sempat meratapi kepergiannya. Meski tak pernah bertemu, membaca karya-karyanya membuatku serasa mengenal sosok Nurcholish Madjid. Anak dari simpatisan Masyumi yang terpaksa pindah pesantren ke Gontor, berlanjut ke IAIN Jakarta, dan akhirnya menajamkan pemikiran keislamannya di Chicago University.

***

Di Chicago, Cak Nur bertemu dengan Guru Besar Studi Islam asal Pakistan, Prof Fazlur Rahman, salah satu intelektual yang banyak mempengaruhi alam pikir Cak Nur. Atas fasilitasi Cak Nur pula, Fazlur Rahman pernah menyambangi Indonesia. Saat itulah pakar studi Islam itu menyoroti cerdik pandai Indonesia yang disebutnya lebih gemar berlama-lama di atas podium ketimbang menuangkan pemikirannya menjadi buku. Padahal, dengan buku, pemikiran itu akan monumental, berumur panjang.

Cak Nur membuktikan jika dirinya bukanlah tokoh seperti digambarkan Fazlur Rahman. Pemikirannya yang mendalam tentang Islam, Kemoderanan dan Keindonesiaan, nyatanya tersebar dalam banyak buku. Salah satu buku monumentalnya, yang sulit sekali dicarikan padanannya, yakni Islam, Doktrin dan Peradaban.  

Buku setebal 626 halaman, yang pengantarnya saja lebih dari 100 halaman, inilah karya yang sering disebut sebagai kitab sucinya Nurcholish Madjid. Membaca buku itu benar-benar memberikan pencerahan, menyegarkan pemahaman keberagamaan dan kebangsaan, dengan sumber literasi yang teramat kaya, baik dari dunia Islam maupun barat.

Salah satu kelihaian Cak Nur, selain pemahamannya yang mendalam, adalah caranya mengulas sesuatu topik dengan sangat menarik dan komperhensif. Seorang dosen bahkan pernah berujar: "Di tangan Cak Nur, sebuah toya (tongkat) saja bisa diuraikan dengan sangat indah dan renyahnya."

Salah satu cara kreatifnya ketika menyodorkan keyakinan bagaimana Islam sangat compatible terhadap kemodernan, dia tak hanya mengutip dalil atau pemikiran ulama Islam, tetapi justru karya-karya sarjana Barat yang ahli Islam. Salah satunya pemikiran Robert N Bellah. Tak cukup dengan buku, Cak Nur juga berhasil melembagakan pemikirannya dalam wujud Universitas Paramadina, yang digagasnya bersama tokoh macam Utomo Dananjaya.

Cak Nur juga ikut ambil bagian dalam mewarnai dinamika keindonesiaan, baik sejak dekade 70 an, saat pemikiran kontroversialnya menjadi perdebatan panjang di khasanah Islam Indonesia, maupun saat peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi, di mana dia bersama tokoh-tokoh bangsa lain menjadi penghimbau pentingnya suksesi.

Yang jelas, tanpa bermaksud mengecilkan tokoh-tokoh Islam lainnya, Cak Nur adalah sedikit dari cendekiawan Muslim Indonesia yang mewariskan pemikirannya dalam banyak buku. Terbukti, sudah banyak buku-buku yang lahir sekadar untuk mengkaji pemikiran Cak Nur, baik yang mengapresiasi maupun mengkritik hingga menghujatnya. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun