Awal Ramadhan 1439 H.
AKU menghindar dari potensi menggurui Rudi. Karena seperti dirinya, akupun masih harus berjuang untuk memburu berkah, mencari kualitas ketenangan hidup yang berkelanjutan. Bahwa di antara lalu lalang nafsu dan keinginan, aku harus pandai mengelola hati agar tak dikendalikan perlombaan menumpuk hasrat.
Tapi, entah kenapa Rudi terus memaksaku meminta wejangan yang mencerahkan. Dia bilang telah terjebak dengan sentilanku. "Aku sedang galau, bro. Pertama karena hentakan pertanyaan putriku, keduanya oleh sentilanmu soal berkah. Tolong, berilah jalan agar aku tak menggantung seperti ini. Ajari aku cara menjemput berkah. Mumpung kita masih di bulan ramadhan," ujarnya.
Sekali lagi, aku tak ingin menggurui. Akupun mengais-kais ingatan soal pengalaman menghadapi masalah serupa Rudi. Ini cara terbaik agar aku yang ekonomi pas-pasa serta Rudi yang berlebih bisa sama-sama belajar.
"Gini bro, aku pernah merasa malu dan lebih rendah kualitas kemanusiaanku dari abang tukang becak. Kasusnya mungkin bisa menjawab kegelisahanmu, kegelisahanku juga," ucapku disambut raut serius Rudi.
Suatu hari, aku stres berat. Dalam kondisi keuangan yang mepet pet, aku dituntut kebutuhan sekolah anaku yang sedang butuh pengeluaran tinggi. Tak ingin berdiam diri, aku bergerak ke sana kemari, mencari peluang rejeki sampai mencari peluang berhutang ke teman.
Tapi dari pagi sampai jelang tengah hari, tak ada hasil. Padahal, besoknya uang sekian juta harus aku penuhi untuk biaya sekolah anakku. Saking pusingnya, aku mampir ke mushola terdekat untuk istirahat sekalian shalat dzuhur. "Akupun shalat berjamaah, berharap beroleh ketenangan. Paling tidak biar kepala sedikit rileks,"
"Terus?" kata Rudi menginterupsi.
"Hahaha...kepo juga kau. Kamu tahu, shalat ternyata gagal menenangkanku. Sampai keluar dari mushola, sayup-ayup kudengar lagu Diana Ross, itu loch, when you tell me that you love me. Panas-panas dengerin lagu itu kan asyik betul, bro"