Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ramadan dan "Puasa Medsos"

17 Mei 2019   22:56 Diperbarui: 17 Mei 2019   22:59 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://suaramerdeka.id/ 

BERUNTUNG, aku telah lama berpuasa dari media sosial. Utamanya dari facebook, platform media sosial sejuta umat. Padahal, dulu di awal FB boomimg, sekitar 2008 dan 2009, nyaris setiap waktu meng-update status hingga catatan panjang sambil mengikuti update-an kawan-kawan. Hampir di setiap waktu dan tempat, bermodalkan ponsel jadul, mata ini sulit melewatkan perkembangan di media sosial.

Tetapi semuanya berubah setelah tahun 20014. Penyebabnya apalagi kalau bukan politik yang mendadak membelah penghuni FB, daftar pertemanan menjadi seolah dipolarisasi dalam garis demargasi. Bukan saya tak suka politik, justru amat menggemarinya. Masalahnya, sejak politik membelah masyarakat dan terutama warganet dalam dua oposisi binner, tetiba bermunculan orang-orang yang sebelumnya apolitik tetapi membincang politik serupa ahli.

Sampai di situ mungkin masih dimaklumi. Tetapi begitu tema politik menjadi perdebatan yang banal, di mana sikap asal beda, antikritik, asal serang menggejala, lantas apa yang tersisa? Saya yang sebelumnya gemar berdiskusi politik, membincang dan mengkritik setiap kebijakan penguasa yang tak populis, mendadak sungkan. Karena pasca 2014, kritik kebijakan yang semestinya dimaklumkan di alam demokrasi, mendadak dikuliti dan dipersoalkan. Menjadi kesal lantaran yang menyoal adalah teman-teman sepertongkrongan yang sebelumnya justru alergi politik. Hahahaha, lengkap sudah penderitaan.

Saya tak mungkin meladeni debat kusir yang melulu soal memuja junjungan dan mencerca seterunya. Sejak itu, saya mengurangi aktivitas di FB, hanya sesekali mengunggah tema-tema humaniora yang tak nyrempet politik, sampai benar-benar puasa dalam dua sampai tiga tahun terakhir.

Nah, tiba-tiba Kompasiana menyuguhkan menu Samber THR dengan salah satu temanya di tanggal 18 Mei ini, "Sebulan menjaga hati di media sosial". Kontan saja saya tertawa. Tapi ya itu, bagiku mungkin tema ini telah selesai, tetapi tidak bagi sebagian besar warganet saat ini. Unggahan saling serang, perdebatan dangkal hingga serius, mengumbar kebencian hingga hoaks dan fitnah masih saja menjadi-jadi di bulan suci.

Lantas, apa fungsi Ramadhan jika setiap yang berpuasa saja gagal menahan dan mengelola nafsu dan keinginannya? Bukankah aspek terinti dari puasa adalah mendidik personal desire kita agar tak liar? Kalau hanya menahan lapar dan dahaga, orang-orang papa lebih mahir berpuasa. Tidak makan adalah ritual yang mengkaribi mereka.

Puasa Ramadhan sejatinya menjadi komitmen titik balik kemanusiaan, terutama berkaca dari drama kosmis penciptaan nenek moyang manusia: Adam dan Hawa. Awalnya mereka menghuni tlatah kenikmatan hakiki, surga. Tetapi keduanya gagal menahan keinginan dan nafsu mereka dari satu-satunya pantangan Allah, yakni mendekati pohon khuldi. Padahal, sebelumnya Tuhan telah mempersilahkan Adam dan Hawa menikmati berjuta-juta makanan, minuman, dan buah-buahan terbaik di surga. Tetapi toh kenikmatan tak berbilang itu gagal menghalangi keduanya dari watak ketamakan, yakni mendekati satu-satunya yang dilarang.

Watak tamak inilah yang menjadi tabiat fitrah keturunan Adam dan Hawa di bumi. Rasulullah Saw bahkan melukiskannya dengan indah, bahwa jikalah anak Adam (manusia) memiliki satu lembah emas, maka dia pasti akan memburu lembah emas kedua dan ketiga. Yang bisa menghentikan mulutnya hanyalah tanah (kematian).

Maka Ramadhan semestinya menjadi sekolah kejiwaan untuk mendidik mental kita agar menjadi raja atas keinginan dan nafsu. Bukan malah sebaliknya, menjadi budak dari keinginan. Jangan sampai puasamu hanya menyisakan lapar dan haus, pesan Nabi.

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan 'az-zur' dan malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan" (HR. Bukhari).

Imam As-Suyuthi rahimahullah menafsirkan az-zur sebagai parkataan dusta dan fitnah. Dalam konteks kekinian, bukankah az-zur itu berlangsung massif, hoax dan fitnah. Facebook, twitter, instagram, bahkan platform Kompasiana juga tak steril dari gejala itu, parade kebencian atas seteru politik yang disajikan dengan berbagai narasi nan indah.

Kalau selama Ramadhan kita mampu bertahan dari yang halal di luar Ramadhan, yakni makan, minum, dan berhubungan seks bagi suami istri. Lantas, kenapa justru kita tak sanggup mempuasakan diri dari sesuatu yang terlarang di luar Ramadhan dan apalagi di Ramadhan nan suci ini. Mari kembali, mari menepi dari hingar-hingar yang tak produktif, sekadar memperturutkan ego dan keinginan yang meledak-ledak, hingga kita alpa bahwa sedang berpuasa. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun