Tak terasa air mataku mengalir, hingga membasahi kerah bajuku. Tetapi kepalaku masih saja tertunduk. Sehingga, ketika dengan susah payah guru mengusap kepalaku, kian pecahlah tangis-diamku. Katakata guru seperti menelanjangiku. Aku malu, lantaran tak banyak belajar untuk memperbaharui kualitas hidupku yang kuanggap datar-datar saja. Tak ada lompatan berarti. "Anakku, ini sudah waktunya. Maukah kau bersaksi baik untukku?,"tukasnya.
"Dengarkanlah ikrarku nak. Asyhadu anla ilaaha il lallah...wa'asyhadu anna muhammadan rasulullah..."
Usapan tangan guru mendadak terhenti. Aku masih tertunduk. Namun tangan guru tak lagi kurasakan berada di kepalaku. Suara nafasnya pun tak lagi terdengar di telingaku. Perlahan kuberanikan diri mengangkat kepala. Pelan, kuhadapkan wajahku pada wajah guru. Dan, masya Allah...guru tersenyum simpul, seperti mensenyumiku..matanya terpejam. Tetapi aku tahu, gurat wajahnya menampakkan ketenangan mendalam...
Aku seperti tak sadar situasi. Reflek, aku mencium kening guru dengan lembut. Aku masih tak tahu pasti apa yang tengah terjadi. Tetapi air mataku masih saja sulit berhenti, hingga nafasku ikut sengal dibuatnya. Mendadak aku limbung. Pandanganku pun berubah gelap.***
____
Based on true story
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H