AKU mengantarnya sampai teras rumah. Tiba-tiba pintu depan terbuka, sosok lelaki paruh baya keluar sambil melempar senyum. "Dari mana saja ini?," sapanya.
"Anu Pak, biasa, jalan-jalan ke taman kota, makan terus pulang," jawabku sedikit kikuk.
Aku memang jarang bertegur sapa dengan Pak Wardoyo, ayah dari Lisna, kekasihku. Aku sedikit tahu sosoknya dari cerita Lisna. Termasuk cerita bagaimana Pak Wardoyo mengintrogasi anaknya tentangku; apa dan bagaimana pekerjaannya, siapa orang tuanya, seberapa serius hubungannya denganku sampai besaran penghasilanku. Itu sebabnya aku kikuk di setiap kesempatan bersua dengan Pak Doyo, demikian panggilan karibnya.
"Maaf Bapak, saya tak pamit dulu, sudah malam," ucapku memecah keheningan.
"Lah, motormu mana, Nak Yanto? Tadi kalian jalan kaki?,"
***
Sepakan lalu, satu-satunya motor yang telah kuangsur selama tiga tahun memang terpaksa kulepas. Bukan dijual, tetapi sudah tiga bulan nunggak setoran. Lima debt collector bertubuh besar mencegatku saat melintas di jalan protokol kota kami. Sebetulnya, mereka tidak merampas motorku, tetapi mengajakku ke pimpinan perusahaan leasing untuk bernegosiasi soal iuran kredit yang mandeg tiga bulan. Gaji sebagai kuli tinta di media lokal tak cukup mampu memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat.
Tapi tanpa menunggu lama, aku secara sukarela menyerahkan motorku ke mereka. "Ambil saja, mas. Aku lagi kesulitan cari uang setoran,". Kelima orang berwajah sangar itu pun mendadak mellow, seolah ingin mengekspresikan respek mereka ke nasibku.
Aku stress sebetulnya. Tapi beruntung, kekasihku menguatkanku dengan ketulusannya. "Wah, asyik dong mas, nanti kita bisa lebih sering jalan kaki berdua. It's so romantic," ucapnya.
***