Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Maaf Tuhan, Aku Hanya Jadi Penonton

31 Mei 2018   18:44 Diperbarui: 31 Mei 2018   23:50 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JAM menunjukkan pukul 23.30 WIB saat seorang pelayan menyuguhkan menu makanan yang kupesan. Tanpa menunggu lama, sepering nasi dan ayam balado beserta sayurannya mulai kumakan dengan lahapnya. Maklum, seharian tadi, aku belum sempat sempat ketemu nasi.

Saking lahapnya, nyaris aku tak menyadari seseorang masuk ke warung berukuran kecil di pinggir jalan provinsi itu. Aku baru ngeh saat ada teriakan dari arah dapur yang hanya berjarak tiga meteran dari etalase menu makanan. "Itu orang suruh keluar, nanti pembeli nggak mau masuk liat dia !" katanya menyuruh dua lelaki muda yang duduk di balik etalase.

Aku mendadak menghentikan aktivitas makanku yang sudah separuh jalan. Pandanganku tertuju pada lelaki paruh baya yang mematung di depan etalase. Lelaki itu terlihat kusam, mengenakan celana hitam dan kemeja yang sedikit koyak di kerahnya. Rambutnya yang mulai memanjang juga terlihat awut-awutan, sebagian telah memutih.

Ya, mulutnya tak mengucap sepatah katapun. Lelaki tak beralas kaki itu hanya menggerak-gerakan jari telunjuknya ke aneka menu yang di dalam etalase. Sementara tangan kirinya memegangi perut kerempengnya. Gerakan menunjuk itu dilakukan berulang-ulang.

Telunjuk lelaki itu baru saja menempel di kaca etalase ketika dua pelayan bertubuh cukup kekar mengapitnya dan memaksanya keluar. Bapak tua itu tentu saja tak cukup kuat untuk meronta, hanya tangan dan telunjuknya yang tak henti mengarah ke etalase.

Adegan ini benar-benar menghipnotisku. Baru separuh langkah kedua pelayan menyeret ke arah pintu muka, sebuah suara tegas dan berat mengnentikannya. Astaga, suara itu berasal dari sosok pemuda tampan, mengenakan setelan celana dan kemeja putih, tak jauh dari samping kananku.

"Maaas... ! Tolong bungkuskan nasi dan lauk yang enak untuk bapak ini. Sekalian minumnya. Nanti saya yang bayar,"

Sesaat suasana hening. Selayaknya adegan slow motion, perlahan dua pelayan melepaskan tangan si lelaki tua. Berikutnya dengan gaya saltingnya seorang pelayan bergegas menyiapkan si anak muda untuk sang bapak. Tidak lama, lelaki tua itu tersenyum simpul sambil meninggalkan warung makan tanpa sepatah katapun.

Aneh, aku bahkan tak menyadari ada lelaki muda di meja samping kananku. Atau karena aku sibuk melahap makanan? Lebih aneh lagi karena aku hanya terpaku menyaksikan pemandangan yang memilukan tadi. Aku terlalu khusyu menyimak adegan singkat yang mendebarkan hingga alpa mengulurkan tangan.

Aku memang baru makan nasi sejak pagi. Tapi tak kurang minuman, cemilan, gorengan sudah memenuhi perutku. Tapi tidak dengan si Bapak itu, mungkin perutnya terasa lapar setelah satu hari atau mungkin dua hari tak makan.

"Maaf Tuhan, aku hanya menjadi penonton. Aku memang iba, tapi tak melakukan apapun untuk membantu bapak tua yang mungkin sudah puasa makan satu dua hari. Maafkah hamba, ya Allah,". ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun