Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saat Rasulullah Jadi Korban Hoaks

29 Mei 2018   23:45 Diperbarui: 30 Mei 2018   00:24 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai istilah, hoax memang relatif baru. Fenomenanya muncul seiring perkembangan era informasi, antara lain ditandai maraknya penggunaan berbagai platform media sosial. Dengan skala aksesnya yang luas serta cepat, media sosial sukses memicu apa yang disebut tsunami informasi.

Segala informasi bermunculan, bersahutan, dan menyebar ke manapun tanpa kenal waktu dan tempat. Memproduksi informasi tak lagi dimonopoli industri media. Pun menulis dan menyebarkan berita bisa dilakukan siapapun tanpa harus menyandang predikat wartawan. Karena kecepatannya, sampai-sampai muncul prediksi hipotetis begini: media cetak akan digerus media online dan portal online akan kalah cepat dari media sosial.

Soal benar tidaknya hipotesis itu, satu yang tak dapat dibantah adalah fenomena banjir informasi. Ketika informasi sedemikian banyak dan hilir mudik di beranda setiap pemilik akun media sosial, maka kepekaan menakar derajat validasi sebuah informasi bisa jadi semakin menurun. Dalam situasi inilah hoax masuk dan menyebar dengan mudahnya. Bayangkan saja seorang editor surat kabar yang biasanya hanya mengedit 6 artikel berita dalam semalam, tiba-tiba mendapat tugas mengedit 15 artikel, tentu kemungkinan untuk turun kualitas editannya setelah artikkel keenam sangat terbuka.

Lalu, apa itu hoax? Untuk lebih mudahnya, penulis meminjam definsi dari Wikipedia.  Hoax atau pemberitaan palsu adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Kenapa hoax muncul dan menjadi fenomena, tentu tidak saja karena ada produsennya, tetapi banyak pula konsumen tetapnya. Maka fenomena hoax sering dikaitkan dengan miskinnya tradisi literasi.

Kalau hoax menjadi wabah dalam beberapa tahun terakhir, bisa jadi karena sebagian warganet tidak bertradisi literasi. Karena tradisi literasi mengandaikan sikap kritis atas setiap sebaran data dan informasi. Meski pengertian hoax yang diberitakan Wikipedia membedakannya dengan rumor, tetapi sebagai gejala sosial ada kemiripan di dalamnya. Sama juga dengan cerita mitos dan mistis yang sengaja disebar dan akhirnya diyakini banyak orang. Esensinya sama, informasi dalam hoax, mitos, mistik, hingga rumor kemungkinan besar tidak benar dan karenanya berpotensi menyesatkan.

Di masa kecil, kampung kami pernah digegerkan dengan isu genyatangannya penunggu Pohon Duwet. Diceritakan dari mulut ke mulut, jin penunggu pohon marah dan ngamuk karena hunian mereka telah raib karena ditebang tukang kebun. Entah dari mana isu itu dihembuskan, warga seantero kampung panik. Selepas maghrib pintu-pintu rumah telah terkunci, anak-anak tak boleh main di luar. Kabarnya, beberapa warga sudah diperlihatkan sosok perempuan bertudung putih yang gentayangan di malam hari.

Apakah isu itu benar adanya? Tentu saja tidak. Waktulah yang akhirnya membuktikan bohongnya cerita mistik tersebut. Tetapi sebohong apapun informasi itu, nyatanya warga telah menjadi korban untuk beberapa hari. Mengerikan bukan? Bagi penulis, fenomena itu juga serupa hoax.

Bagaimana hoax menjadi fenomena dan apa kaitan sabab musababnya dengan tradisi literasi, mungkin kembali pada sikluas perubahan kebudayaan di masyarakat. idealnya, siklus itu bergerak dari tradisi tutur, tradisi literal, dan baru ke budaya visual. Sayangnya, dalam banyak kasus di Indonesia, karena perkembangan masyarakatnya yang lambat, maka dari tradisi lisan langsung meloncat ke budaya visual. Sejak akhir 1980 an, saat sebagian masyarakat masih kesulitan mengenyam pendidikan, budaya televisi terlanjur mewabah.

Karena loncatan kultural itu pula masyarakat Indonesia sering dituding sebagai korban budaya televisi.  Lebih jauh, banyak ragam program acara televisi tak bermutu yang dianggap kurang bermutu tetapi nyatanya memiliki rating tinggi. Tengoklah produk sinetron Indonesia yang tak realistis, sangat dominan dengan tradisi tutur. Terlalu banyak dialog, bahkan untuk scene yang semestinya tak perlu, alur cerita yang sangat mudah ditebak, penokohan yang ekstrim, hingga budaya hedon; keluar masuk rumah mewah, mobil mewah, di tengah jutaan penontonnya yang hidup kepayahan. Mungkin Si Doel menjadi satu-satunya sinteron yang cukup hirau dengan kualitas.

Generasi yang tumbuh dalam tradisi literasi boleh saja mengkritik produk tv yang dianggap tak bermutu itu. Tapi nyatanya ia punya pemirsa setia di kampung-kampung. Produser yang cuma mikir untung rugi tentu mustahil memproduksi jika tak sepi penonton.

Belum kering tradisi visual dalam kotak televisi, kita masyarakat kembali digempur dengan era digital. Lengkap sudah bukan, meski tradisi literasi boleh jadi belum terbangun dengan baik. Jadilah, masyarakat yang setia sebagai konsumen informasi dengan bekal daya nalar dan daya kritis yang tak memadai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun