Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Maaf Tuhan, Aku Menghalangi Kebahagiaanku Sendiri

28 April 2018   22:00 Diperbarui: 7 Agustus 2019   22:52 2641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEJADIAN pagi tadi sedikit mengusikku. Aku berangkat ke kantor dengan mood yang buruk. Penyebabnya sepele, soal sarapan. Aku yang sedikit terburu-buru harus kecewa saat membuka tudung di meja makan. Menu yang tersaji benar-benar tak menggugah selera. Meski sudah beberapa tahun tinggal di Pekalongan, aku belum juga berdamai dengan menu khasnya: megono. Olahan gori plus bumbu dan rempah-rempah. Jadilah niat sarapan kuurungkan.

Alih-alih mengisi perut, aku nglintis memacu sepeda motorku tanpa pamit ke istri. Perasaan bad mood terbawa di jalanan. "Lagi-lagi megono, apa nggak ada menu lain. Toh tidak harus mahal," batinku.

Ya, batinku berbincang; bertanya dan jawab sendiri. Kekesalan itu terus berkecamuk, hingga gas motor kutarik lebih kencang. Aku masih mengomel sendiri di jalanan sampai sebuah pemandangan di trotoar mencuri perhatianku.

Dua anak kecil tengah berlarian dengan riangnya, anak yang lebih besar (mungkin kakaknya) menggengam plastik berisi teh hangat (karena tampak tanpa bongkahan es). Sebuah sedotan warna hijau menjulur.

Sesekali bungkusan teh hangat itu disodorkan ke adiknya. Keduanya lantas tertawa bareng dan kembali berlarian. Kejadian itu memang berlangsung cepat, karena laju motorku yang sedikit ngebut. Tapi entah kenapa, episode mereka berlarian sambil tertawa riang lantas menyeruput teh hangat itu menjadi tampak mendetail, serupa adegan slow motion.

Mereka berlari searah laju motorku. Selang sesaat keduanya berhenti menghampiri bapak ibunya yang tengah sibuk menambal ban di trotoar jembatan. Ini lebih mengagetkanku. Aku sedikit tahu suami istri paruh baya yang sehari-hari menjajakan jasa menambal ban di salah satu jalan protokol Kota Pekalongan itu.

Suatu pagi dalam rute yang sama, aku pernah menambal ban motorku yang bocor di tempat itu. Saat itulah aku tahu, suami istri beserta dua anaknya itu terbiasa bermalam di emperan jembatan. Sebuah becak yang mereka bawa itu berisi peralatan tambal ban dan sebagian lagi perkakas rumah tangga, seperti pakaian dan lainnya. Saat itu, kedua kakak beradik itu bahkan masih tertidur pulas beralaskan tikar di samping jembatan.

Agh, perasaanku mendadak campur aduk. Laju motor mendadak memelan. Kok bisa sebungkus teh hangat sedemikian menggembirakan bagi anak-anak kecil itu. Usia anak yang sedang gemar-gemarnya jajan.

Orang tua mereka pun hanya penambal ban, tuna grahita pula. Kenapa aku tak bisa seceria mereka hanya karena soal menu sarapan. Bukankah uang didompet lebih dari cukup untuk membeli menu sarapan lainnya?

"Maaf Tuhan, aku malu karena menghalangi kebahagiaanku sendiri".***

________________

Based on true story

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun