Entah sejak kapan aku mencandu kopi. Sudah lama sekali rasanya. Di kampung kelahiranku, kopi mungkin menjadi minuman kedua. Karena mereka punya tradisi ngeteh, moci. Tapi aku adalah perkecualian, anak Slawi yang beberapa kali merasakan mual tak tertahankan karena menenggak teh.
Aku ingat. Dulu sekali, saat belum mengenyam bangku sekolah. Aku sering ngemix kopi dan gula seukuran setengah gelas kecil. Aku aduk sampai benar-benar kedua material itu bersenyawa. Setelah itu, tidak ada siraman air panas. Ya, hasil racikan tadi aku jadikan cemilan, bekal main di sungai atau ladang.
Entah terhubung atau tidak, kelak saat ngekos kuliah, aku dipercaya kawan-kawan seangkatan untuk meracik kopi tubruk setiap ada kumpul-kumpul di koskosan. Bedanya, tentu dengan air panas. Mereka lantas memanggilku "Sang Peracik Kopi". Kopi racikanku memang tak sepahit black coffee nya orang londo yg without sugar. Tapi percayalah, untuk ukuran gelas jumbo, percampuran kopi dan gula itu memenuhi nyaris sepertiga isi gelas.Â
Pun jangan harap berimbang, karena komposisi kopi yg dua kali lipat dari gula. Soal racikan ini, aku pernah berdebat kusir dengan temanku yang pecandu kopi sachet. Dia bilang, racikan pabriklah yang paling pas mengkombinasikan pahit dan manis.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H