Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulislah, agar Ingatan Orang tentangmu Melebihi Usiamu

19 April 2018   23:22 Diperbarui: 28 Juni 2020   22:51 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SAAT mengunjungi Indonesia di medio 1980 an, Guru Besar Pemikiran Islam Universitas Chicago, Prof Fazlur Rahman, konon menyoal kecenderungan tokoh Indonesia yang lebih senang berlama-lama orasi di atas podium ketimbang menuliskan gagasannya. Padahal, dengan menulis, pemikiran mereka justru menjadi monumental.

Fazlur Rahman tak sekadar mengkritik, dia punya kredibilitas karena pemikiran dan karya tulisnya yang mendunia dan banyak mempengaruhi orang. di Indonesia, tokoh bangsa sekaliber Nurcholish Madjid bahkan mengakui besarnya pengaruh Fazlur Rahman, utamanya dalam diskursus Islam dan kemoderenan. Dan siapapun mafhum, Cak Nur adalah satu dari sedikit tokoh Indonesia yang sangat produktif karya tulisnya.

Salah satu buku monumentalnya; Islam, Doktrin dan Peradaban, bahkan memuat kata pembuka sepanjang 100 an halaman dengan analisa mendalam serta kaya referensi. Bayangkan bagaimana isinya. Cak Nur rupanya menginsafi betul, di luar menghidupkan tradisi yang pernah ditorehkan peradaban emas Islam di masa silam, alumnus Gontor juga ingin mewariskan pemikiran Islam modern-moderat (wasathitat-Islam) ke masyarakat Muslim setelahnya.

Benar kata Fazlur Rahman, karya tulis memang monumental, ia akan selamanya menjadi dokumen sejarah. Sebuah pemikiran yang dutuliskan akan berumur lebih panjang, melebihi usia penulisnya, sehingga bisa diwariskan ke generasi berikutnya.

Andai saja para filusuf dan pemikir kuno tak menuliskan pemikirannya, kita tentu tak akan pernah mengenal nama-nama besar Aris Toteles, Plato. Atau pemikir Muslim macam Ibnu Shina, Ibnu Rusy, Al Jabar, Al Farabi. Atau filusuf Eropa macam Imanuel Kant, Karl Marx, Weber, Auguste Comte, dan lainnya.

Tradisi tulis juga sesungguhnya lebih menggambarkan sebuah kualitas peradaban, ketimbang tradisi lisan. Kesimpulan itu juga bisa jadi ikut memberikan penjelasan kenapa ada kesenjangan kualitas perdebatan pemikiran antara para politisi dan tokoh bangsa di awal kemerdekaan dengan di era saat ini.

Padahal, perdebatannya sangat tajam dan mendasar, menyangkut ideologi, sebut saja pemikiran Natsir versus Soekarno. Sebuah dialektika pemikiran yang mencerahkan dus mendidik. Mereka bisa berdebat sangat panas di dalam ruangan, tetapi sekeluarnya bisa gayeng ngopi bareng. Sementara perdebatan politisi zaman now cenderung dangkal dan vulgar, miskin citarasa berbahasa.

Produk tradisi  lisan memang tak berumur lama, mudah dilupakan dan pastinya tak efektif dan efisien. Dulu, Bapak saya sering menyampaikan anekdot ini:

"Coba biasakan mencatat poin-poin tashiyah saat pengajian seperti Isro Mikroj atau Maulid Nabi. Tahun depan, undang pemateri yang sama, silahkan buka catatannya. Kemungkinan besar sama bukan?"

Ya, itulah sisi lemah tradisi lisan. Karena mudah lupa, maka kita berpotensi menerima pengulangan pesan yang sama. Sebuah pidato atau ceramah panjang berdurasi dua jam misalnya, kalau itu dituangkan dalam tulisan, bisa jadi tak lebih dari dua halaman.

Sehebat apapun kata-katamu hari ini, esok mungkin hilang dari ingatan orang. Tetapi sekecil apapun karya tulisanmu, ia tak lekang oleh waktu, abadi. Menulislah, agar kenangan orang tentangmu lebih panjang dari usiamu. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun