Tanpa dikomandoi, tubuhku bergetar. Adrenalin meningkat tajam. Pikiran dipenuhi kecamuk. Aku memang sempat gentar, gejala demam panggung seperti mengurungku.
Tapi entah kenapa, muncul pula keinginan melawan, menaklukkan situasi grogi. Semua stock of knowledge yang pernah terrekam di otak tiba-tiba bermunculan. Dan ketika waktunya tiba, lidahku seperti menelan oli, licin, kata demi kata, kalimat demi kalimat, poin demi poin meluncur dengan sendirinya. Aku sampai kesulitan mengakhiri ceramahku.
Bukan lagi kuliah singkat. Kultum berubah menjadi kuldupum alias kuliah dua puluh menit. "Wah, hebat tadi, Mad. Kamu dapat materi itu dari mana?" tanya beberapa temanku.
Aku hanya menjawab dengan senyum simpul. Karena memang sulit dimengerti juga, bagaimana mendadak aku bisa lancar ngomong di depan banyak orang, meski sebelumnya selalu kandas saat berlatih di depan cermin dan tape recorder-ku.
Seiring waktu, aku baru menemukan jawabannya. Bahwa komunikasi adalah practical skill. Dia tak cukup diperoleh dari membaca dan mendengar atau bahkan pelatihan.
Seperti halnya menulis, komunikasi lisan, public speaking pun harus dipelajari dengan praktik langsung. Pembelajarannya harus learning by doing, trial and error. Aku jadi mafhum jawaban Kuntowijoyo saat ditanya bagaimana cara melatih menulis.
"Menulis, menulis, dan menulislah!"Â katanya.
Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H