Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Aku Pernah Menangis Karena Tak Mahir Bicara

9 April 2018   14:45 Diperbarui: 9 April 2018   17:50 1911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEJAK kecil, aku merasa beruntung karena banyak dipertemukan dengan orang-orang hebat. Para sosok yang sukses karena ditempa hidup, mereka yang tumbuh bermetamorfosa: from zero to hero.

Yang kutahu, mereka tak hanya sukses memotivasi dirinya hingga jadi orang hebat. Lebih dari itu, kehebatan mereka juga karena piawai memotivasi banyak orang agar sukses. Termasuk aku, anak miskin yang di penghujung Sekolah Dasar harus merantau sendiri, bertemu dan hidup bersama dengan saudara-saudara dan ayah angkat di sebuah Pondok Penyantunan Yatama Sakin.

Sebelum itu, cita-cita tertinggiku adalah bekerja selepas lulus SD, sebuah impian pada umumnya anak-anak di kampung kami. Saat akhirnya hijrah ke kota besar, aku tak lebih dari anak desa yang lekat dengan ketidakpercayaan diri dan miskin mimpi.

Tetapi perlahan, persuaan dengan orang-orang hebat itu efektif mengungkit motivasi hidup, sehingga memiliki keberanian mengangan-angani sekolah sampai tinggi.

Aku melihat, orang-orang hebat itu selalu menjadi pembicara yang menawan. Mereka mahir sebagai public speaker yang selalu mampu menghipnotis audien. Saat itulah, aku menyimpulkan orang-orang hebat pastilah pandai merangkai kata-kata di hadapan banyak orang.

Sebagai calon remaja, insting meniru pun kuseriusi. Mungkin cara ini untuk melawan kelemahan mendasarku yang inferiority complex; rendah diri, minder, dan sekawannya.

Aku harus pandai bicara di depan umum! Mulailah aku berlatih sendiri, bicara di depan cermin; membayangkan ada berpuluh atau bahkan berratus mata yang menatapku. Sial, ternyata tidak mudah. Baru lima menit ngomong, aku seperti kehabisan kosakata. Mandeg. Besoknya kuulangi lagi, lagi dan lagi. Keadaan tak banyak berubah.

Aku tak menyerah, kupecahkan celengan hasil menyisihkan uang saku sekolah. Sebuah tape recorder pun aku miliki. Tidak lagi di depan cermin, aku berlatih pidato sambil direkam. Seorang diri. Hasilnya, tetap saja aku kesulitan. Masalahnya masih sama, kehabisan stok kalimat dan berhenti di tengah jalan atau tepatnya mungkin di awal.

Kulatih setiap hari. Kurekam di setiap waktu senggang, tapi nyaris tak ada progres. Aku bingung, apa penyebabnya. Situasi berubah dan bertambah buruk. Tiap kali mengulang latihan, aku justru semakin frustasi. Pada saatnya aku menyerah. Menangis di di depan recorder. Meratap di hadapan cermin.

"Kenapa aku tak mahir bicara seperti sosok-sosok hebat itu? Apakah aku bisa sukses tanpa kemampuan komunikasi publik yang baik?"

Tapi Tuhan memang Maha Adil. Ketika manusia telah bersungguh-sungguh, semesta pun mendukung. Di saat intensitas berlatih pidatoku menurun, justru Dialah yang langsung mengajari aku public speaking. Caranya pun istimewa, di sebuah acara halal bi halal kelas dengan wali kelas, tiba-tiba aku ditunjuk dadakan untuk memberi semacam kuliah singkat, kuliah tujuh menit alias kultum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun