Tapi kini kondisi berubah 180 derajat. Masyarakat berbondong-bondong mengutuk terorisme yang masih sering diidentikkan dengan Islam itu, oleh sebab, korban kebrutalan teror atas nama agama itu tidak lagi terjadi di barat sana, tetapi merata sampai di sini. Tak cukup sampai di situ, kalaupun perang melawan terorisme takk lepas dari sisi propaganda, maka propaganda itu pun sukses.
Karena jaringan pelaku terorisme itu seringkali abstrak bagi orang kebanyakan, maka segala yang identik dengan aksesoris mereka pun dijauhi. Sebut saja jubah, sorban, jenggot panjang, celana cingkrang, dan sejenisnya. Tak jarang, seperti halnya sebagian kalangan phobia Islam di barat yang kesulitan membedakan ajaran Islam dengan oknum yang memanfaatkannya untuk aksi kekerasan dan terror, lambat laun masyarakat kita juga menjadi sensitif dengan jenggot, jubah, celana cingkrang, dan lainnya.
Pada akhirnya, dunia pun membutuhkan mitos dan fiksi yang dipropagandakan untuk berperang dan bertahan. Amerika butuh fiksi senjata pemusnah masal untuk meyakinkan dunia internasional memerangi Iraq dan menggulingkan Sadam Husein.
Pun bagi sebuah komunitas negara bangsa, bahkan untuk dan atas nama nasionalisme. Serasional apapun perkembangan masyarakat Indonesia, bukankah wacana Satria Piningit dan Ratu Adil juga tak pernah sepi direproduksi di setiap tahun politik?
Sampai di sini, apakah karya fiksi Peter Warren Singer, Ghost Fleet, sebagaimana dikutip Prabowo Subianto kita maknai hanya sebatas cerita fiktif belaka? Jawabannya kembali kepada setiap pembaca. Wallahu a'lam. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H