Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Biar Saja Orang Menganggapmu Bodoh

23 Maret 2018   13:53 Diperbarui: 30 Maret 2018   13:24 2496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TANPA basa basi, Ibu Guru langsung memberi kami kuis soal, sesaat setelah masuk ruang kelas.

"Yang sudah selesai langsung bawa ke depan!" perintahnya.

***

Jujur, minatku telah lama menyusut terhadap pelajaran yang satu ini: MATEMATIKA. Bukan karena sulit apalagi takut terhadap pelajaran yang sering dianggap momok ini. Alasanku lebih personal, yakni faktor guru.

Sejak awal masuk SMA, guru matematika terlanjur melabeliku bodoh. Daya nalarku dianggap cekak kalau disodori soal matematika. Pernah suatu waktu guruku melempar pertanyaan dan meminta muridnya menjawab. Soal cukup rumit, tapi saat itu aku merasa mampu menjawabnya. Satu persatu sebagian temanku ditanya ketika tak kunjung ada yang unjuk jari. Yang ditunjuk itu tentu saja yang dianggap di atas rata-rata kecerdasannya.

Dia nyaris tak melirikku, meski aku merasa mampu. Sempat sih Pak Guru menyebut namaku, tapi buru-buru meralatnya. "Ya coba Akhmad! Agh, paling kamu nggak paham kan? Yang lain?" kata dia disambut tawa seisi kelas.

Sejak itu, aku mati rasa dengan matematika. Bukan hanya gurunya, tapi juga terhadap pelajarannya. Jadilah aku ilfeel di setiap jam pelajaran matematika tiba.

Padahal, sejak kecil aku telah jatuh cinta pada angka-angka. Saat anak-anak kampung kami yang duduk di bangku kelas 3 sampai 5 SD belajar kelompok di rumah tetangga, aku bahkan sering mengikuti. Begitu ada latihan soal matematika, aku pun langsung melahapnya.

Menginjak bangku SD dan berlanjut SMP, kecintaanku pada matematika kian menjadi-jadi. Saat SMP, sejak kelas awal sampai akhir, guru-guru matematika yang berbeda bahkan sering membanggakanku.

Di bangku kelas 2 SMA ini, guruku memang tidak apriori terhadap setiap siswanya, meski tak menggapku pintar juga. Hanya saja, aku terlanjur malas dengan matematika.

***

Tidak lebih 10 menit, salah seorang temanku maju. Sebut saja namanya Andi, dia yang terpandai di kelas kami. Andi selalu menjadi andalan untuk semua pelajaran eksakta.

Lama melamun, aku mulai mengerjakan kuis soal yang ternyata mudah. Tiba-tiba, temanku yang duduk persis di depanku membalikkakn badan. "Mad, gue lihat jawabannya dong," Temanku yang satu ini, Anto, mungkin kebalikan si Andi. Dia jarang sekali belajar, rutin mencontek setiap ada PR dan ujian, plus cukup bandel, dan nilai-nilai ulangan cukup membuktikannya. Tapi entah kenapa, yang dia contek adalah jawabanku. Padahal masih banyak teman lain yang dianggap lebih pintar.

Sudah 10-an siswa yang menyerahkkan jawaban ke depan. Aku memilih tak maju, meski telah selesai. "Ini sudah beberapa anak maju tapi kok jawabannya salah semua. Masa soal seperti ini tidak ada yang bisa? Ayo, mana yang lainnya," kata Bu Guru dengan nada geram.

Suasana sedikit lengang dan tegang saat Anto mendadak bangkit dan bergegas ke depan dengan cengar cengir .... Aku tersenyum sambil menunggu reaksi perempuan paruh baya itu mengoreksi jawaban hasil kerja otakku itu. Teman-teman sekelas pun tak kalah kaget dengan kenekatan Anto. "Cie cie....Anto ngimpi apa semalem," celetuk salah satunya yang memancing pecahnya tawa berjamaah.

Anto telah duduk santai ketika Ibu Guru beranjak ke tengah kelas sambil menenteng buku miliknya. Sementara tumpukan buku lainnya tetap teronggok di meja. Seisi kelas mendadak hening.

"Mana Anto ? Ini Bukumu?" tanyanya.

"Saya, Bu!"

"Semua jawaban kalian salah! Cuma milik Anto yang benar," tukasnya lantang.

Tanpa komando, seluruh siswa bertepuk tangan dan memuji Anto. Aku paham tepukan tangan dan tawa teman-temanku, tapi aku ikut merayakakn keriangan bersama itu.

Anto yang sejak tadi tersenyum girang kembali balik badan. Dia menjulurkan tangan dengan puasnya. "Thank's, Mad. Makasih..makasiiih..."

Baru kali ini aku merasakan jabat tangan tulusnya. Dia seperti baru menang lotre, melampiaskan kebahagiaan dengan ekspresifnya.

"Kau tak tahu, Anto. Bukan cuma kamu yang senang, akupun teramat puas dan bahagia. Aku tak perlu membuktikan diri jika aku mampu. Kegiranganmu itu sudah cukup". ***

_______________

Based on true story

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun