Mohon tunggu...
Syakirun Ni'am
Syakirun Ni'am Mohon Tunggu... Pelajar -

Saya Sudrun adalah nama pena dari Syakirun Ni'am. Sempat aktif di majalah sekolah dan pernah menjadi penyiar radio El Ihya FM, salah satu radio komunitas di Cilacap. Saat ini tengah menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Ilmu Komunikasi kelas C (Caffeine Class)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Yang Masih Bilang Sastra Tidak Realistis?

13 Desember 2015   06:38 Diperbarui: 14 Desember 2015   23:23 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sastra? Tidak realistis!” 

Mungkin beberapa dari kita pernah mendengar atau justru mengatakan sendiri kalimat di atas. Saya mendengar pernyataan semacam seperti itu dari salah seorang teman. Penafsiran Saya, dia yang mengatakan demikian memvonis bahwa sastra adalah sesuatu yang tidak nyata dan terlalu jauh fungsinya dari kehidupan. Sekadar penghibur!

Sastra yang hendak ‘diperbincangkan’ kali ini adalah cabang seni yang berupa penggunaan bahasa verbal dalam konteks estetika, yang disempitkan lagi menjadi puisi, novel ataupun prosa. Bukan ekspresi dari dinamika kebudayaan seperti yang dikemukakan Ashadi Siregar dalam artikelnya, Menuju Bangsa Tanpa Sastra (Caknun.com : 2013).

Karya Sastra memang lahir dari alam imajiner, dan seperti pernyataan Edi AH Iyubenu, salah satu sastrawan angkatan 2000, dalam pengantar antologi cerpennya, Ojung (LkiS: 2003), bahwa ia (cerpen) tak lebih dari sekadar: berangan-angan, berkhayal-khayal, melamun-lamun, menyusun-nyusun cerita, lalu jadilah igauan yang membuaikan banyak orang lantaran untaian-untaian kisahnya. Dan tulisnya lagi, janganlah sekali-kali membandingkannya dengan dunia politik, ekonomi, keamanan, perkuliahan, dan pekerjaan yang amat sukar.

Tapi, apakah proses penciptaan karya sastra sedemikian sederhananya, hanya berimajinasi, melamun, lalu kemudian kita tuliskan khayalan itu? Tentu tidak. Menulis saja merupakan tindakan yang bukan sederhana. Jika pada membaca, proses yang terjadi adalah kita meng input kemudian mengolah kandungan bacaan tersebut dalam pikiran, maka dalam menulis, kita tidak hanya mengolah pemahaman yang kita miliki, melainkan juga menurunkannya dalam bentuk tulisan, yang itu saja perlu keterampilan. Belum lagi beberapa penulisan menuntut adanya penyegaran makna.

Selain itu, bahan dari karya sastra sendiri bukanlah sekadar imajinasi. Ada yang sengaja disembunyikan Edi. Jika pengantar tersebut dibaca sampai akhir, dia seperti mengejek kaum intelektual yang mengkritik karya sastra dengan keawaman yang dimilikinya tentang sastra.

Edi tidak mengatakan bahwa karya sastra memerlukan pengetahuan sebagai esensi atau bahan utama dari karya sastra tersebut. Dalam salah satu road Kampus Fiksinya, dia menyatakan bahwa pengetahuan sangat diperlukan dalam membangun suatu cerpen. Seperi ketika penulis hendak menceritakan Cleopatra, maka dia harus mengetahui seluk beluk tentang Cleopatra. Seperti halnya cerpen, puisi, prosa, ataupun novel tidaklah begitu berbeda dalam hal ini.

Menurut Saya, sastra merupakan cara mengemas, seni dalam membentuk sisi estetika dari suatu bahan yakni gagasan. Gagasan itulah yang jika memiliki manfaat, menjadikan karya sastra menjadi bernilai.

Tidak tertolak bahwa seni mengemas esensi tidak kalah pentingnya dari esensi tersebut. Sebab, pengemasan sangat menentukan sampai atau diterimanya suatu esensi. Dalam suatu kasus misalnya, seseorang lebih memilih produk yang kemasannya memiliki nilai estetika lebih, padahal mutu produk tersebut masih kalah dari produk lain yang estetika kemasannya lebih rendah. Hal semacam itu mudah kita temui.

Permasalahannya adalah tidak sedikit pula karya sastra yang ‘kopong’, yang hanya menawarkan keindahan bahasa tapi tidak mengandung ‘nilai’.  Mungkin, karya yang demikianlah yang ‘pernah’ ditemui teman penulis. Sehingga tidak mengherankan jika dia memiliki pandangan seperti itu terhadap sastra karena sikap atau cara pandang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman.

Anak Kandung Realitas

Meskipun produk khayalan, sastra bukan sesuatu yang jauh dari realitas. “Sastra terlahir dari rahim yang bernama realitas”, itulah yang pernah dikatakan penulis novel Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur, Muhidin M Dahlan, dalam salah satu bedah bukunya. Artinya, apa-apa yang ada dalam karya sastra merupakan bentuk proyeksi penulis atas suatu realitas.

Proyeksi yang berangkat dari realitas sangat bergantung pada bagaimana persepsi. Dan persepsi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh pengetaahuan, pengalaman, dan asumsi-asumsi yang dimiliki seorang penulis. Maka dari itu, seperti apa nilai suatu karya sastra tidak mungkin terlepas dari pengetahuan yang ditumpahkan dan kemampuan yang dimiliki penulis.

Hal demikianlah yang menjadikan nilai karya sastra berbeda-beda. Semakin dalam gagasan yang ditumpahkan penulis  dalam karyanya, dan semakin tinggi kemahirannya dalam mengemas, semakin berbobot pula karya yang dia ciptakan.

Nilai karya sastra juga sangat menentukan berapa umur karya tersebut. Mudah kita temukan, beberapa karya hanya muncul dalam ruang publik, hadir kepada pembaca, hanya pada beberapa saat saja. Setelah itu, tenggelam. Sehingga ungkapan “Seni yang tidak memiliki nilai akan mati” benar adanya.

Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, yang penuh dengan gizi sejarah dan perspektif penulisnya sebagai negarawan, hingga kini tetap bisa bereksistensi tidak lain karena karya mereka memiliki nilai. Nilai tersebut yang menjadikannya tetap memiliki kualitas dan tidak tersingkirkan oleh karya-karya yang terus bermunculan.

Semangat para pengarang dalam melahirkan banyak karya tentunya harus kita apresiasi. Namun, jika yang dilahirkan banyak dan terus saja berupa bayi-bayi kosong, maka apresiasi kita juga harus berisi kritik yang membangun dan saling menghidupkan.  Sehingga  tidak sampai membuat kita menjadi semakin maklum pada orang-orang  yang mengatakan “Sastra? Tidak realistis!”

Jika pun kenyataannya sudah banyak yang dilahirkan adalah bayi-bayi yang memiiki ruh tapi komentar seperti itu tetap saja meluncur, lebih baik kita juga memakluminya. Sebab, bukan lain dia adalah orang awam yang sedang nyinyir. Dan ironisnya, tidak sedikit dari mereka justru kaum intelektual!

Oleh : Syakirun Ni’am

 

Ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun