Jum’at kemarin, Yaqowiyu, upacara tebar apem dilaksanakan di masjid agung Jatinom, Klaten. Upacara yang sudah ada sejak dulu dan sudah menjadi tradisi itu diikuti oleh ribuan orang termasuk pemerintah setempat. Tidak tertolak, Yaqowiyu merupakan salah satu khazanah Islam Nusantara. Namun tidak bisa kita tolak pula, bahwa terdapat beberapa tradisi keislaman di Nusantara ini telah menyimpang dari akidah Islam itu sendiri. Hal itu menjadi menarik untuk kita ketahui, apakah dalam upacara tersebut terdapat penyimpangan dari asalnya, atau penyimpangan yang muncul pada sepanjang perjalanannya dari dulu hingga kini.
Sebelumnya, Islam dan kebudayaan adalah sesuatu yang berlainan, namun tidak bisa dipisahkan. Dalam penyebarannya, Islam memiliki tiga sikap terhadap kebudayaan yang sudah ada. Sebenarnya, ini adalah tiga sikap yang ditemukan dalam Al Qur’an. Sikap yang pertama adalah destructive (menolak) terhadap budaya yang telah ada, seperti minum arak misalnya. Kedua, recontruction (merekontruksi), seperti budaya berdagang. Budaya berdagang sudah ada sejak pra-Islam. Islam tidak menolaknya, tapi merekontruksi beberapa hal yang tidak sesuai seperti riba. Ketiga, adaptive (adaptasi), seperti adanya larangan berperang pada bulan-bulan suci. Pada era pra-Islam dan Islam, perang pada bulan-bulan suci dilarang.
Dilihat dari tiga sisi tersebut, Yaqowiyu tidak terdapat pada salah satunya. Pada mulanya, istilah ‘Yaqowiyu’, yang berarti “Tuhan mohon kekuatan” terlahir dari do’a Kiai Ageng Gribig, salah satu tokoh penyebar Islam pada masanya. Kiai Ageng Gribig mendapatkan tiga buah kue apem ketika di tanah suci yang kemudian dibawa pulang untuk diberikan kepada cucunya. Ternyata, sampai di Jatinom, tempat tinggalnya, kue apem tersebut masih hangat. Kemudian, karena jumlahnya tidak mencukupi untuk dibagikan pada cucu-cucunya, Kiai Ageng Gribig menyuruh istrinya untuk membuat kue apem lagi agar bisa merata. Kiai Ageng Gribig kemudian meminta kepada masyarakat Jatinom agar merelakan sebagian hartanya pada bulan Safar untuk disedekahkan kepada orang-orang yang datang. Mengetahui bahwa Nyai ageng Gribig bersedekah kue apem, masyarakat Jatinom ikut bersedekah apem.
Mempercayai datangnya jodoh, rezeki, kesuburan dari kue apem sudah merupakan penyimpangan akidah. Sebab, pelaku mempercayai datangnya sesuatu dari selain Alloh. Hal ini berbeda dengan percaya bahwa Alloh mendatangkan jodoh dan semacamnya lewat kue apem yang telah dibacakan do’a tersebut. Contoh lain, di suatu daerah di Jawa Timur, dilarang mendirikan rumah menghadap selatan. Menurut keyakinan mereka, jika membangun rumah menghadap selatan akan mendapatkan musibah. Hal tersebut merupakan suatu penyimpangan. Sebab mereka mempercayai datangnya musibah dari mereka membuat rumah dengan menghadap selatan. Tapi, berbeda dengan berkeyakinan bahwa Alloh memberikan musibah lewat rumahnya yang menghadap selatan.
Fenomena semacam itu, tentu bukanlah hal yang sepele karena menyangkut masalah akidah. Kita tidak perlu menggugat tradisi teresebut, melainkan membenahi kesalahan yang ditemukan didalamnya. Hal semacam itu sering terjadi. Pada asal mulanya merupakan sebentuk ibadah yang dikemas dengan bentuk tradisi, tapi dalam perjalanannya terjadi penyimpangan.
Penyimpangan tersebut tidak terlepas dari beragamnya interpretatif dalam masyarakat. Dan untuk menjaganya, tentu dibutuhkan peran tokoh agama dan pemerintah yang juga ikut turun dalam budaya tersebut mengingat penyimpangan-penyimpangan yang ada memiliki akibat yang fatal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H