Mohon tunggu...
Syakirun Ni'am
Syakirun Ni'am Mohon Tunggu... Pelajar -

Saya Sudrun adalah nama pena dari Syakirun Ni'am. Sempat aktif di majalah sekolah dan pernah menjadi penyiar radio El Ihya FM, salah satu radio komunitas di Cilacap. Saat ini tengah menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Ilmu Komunikasi kelas C (Caffeine Class)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Yaqowiyu, Bebaskah dari Penyimpangan?

22 November 2015   11:24 Diperbarui: 22 November 2015   11:24 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jum’at kemarin,  Yaqowiyu, upacara tebar apem dilaksanakan di masjid agung Jatinom, Klaten. Upacara yang sudah ada sejak dulu dan sudah menjadi tradisi itu diikuti oleh ribuan orang termasuk pemerintah setempat. Tidak tertolak, Yaqowiyu merupakan salah satu khazanah Islam Nusantara. Namun tidak bisa kita tolak pula, bahwa terdapat beberapa tradisi keislaman di Nusantara ini telah menyimpang dari akidah Islam itu sendiri. Hal itu menjadi menarik untuk kita ketahui, apakah dalam upacara tersebut terdapat penyimpangan dari asalnya, atau penyimpangan yang muncul pada sepanjang perjalanannya dari dulu hingga kini.

Sebelumnya, Islam dan kebudayaan adalah sesuatu yang berlainan, namun tidak bisa dipisahkan. Dalam penyebarannya, Islam memiliki tiga sikap terhadap kebudayaan yang sudah ada. Sebenarnya, ini adalah tiga sikap yang ditemukan dalam Al Qur’an. Sikap yang pertama adalah destructive (menolak) terhadap budaya yang telah ada, seperti minum arak misalnya. Kedua, recontruction (merekontruksi), seperti budaya berdagang. Budaya berdagang sudah ada sejak pra-Islam. Islam tidak menolaknya, tapi merekontruksi beberapa hal yang tidak sesuai seperti riba. Ketiga, adaptive (adaptasi), seperti adanya larangan berperang pada bulan-bulan suci. Pada era pra-Islam dan Islam, perang pada bulan-bulan suci dilarang.

Dilihat dari tiga sisi tersebut, Yaqowiyu tidak terdapat pada salah satunya. Pada mulanya, istilah ‘Yaqowiyu’, yang berarti “Tuhan mohon kekuatan” terlahir dari do’a Kiai Ageng Gribig, salah satu tokoh penyebar Islam pada masanya. Kiai Ageng Gribig mendapatkan tiga buah kue apem ketika di tanah suci yang kemudian dibawa pulang untuk diberikan kepada cucunya. Ternyata, sampai di Jatinom, tempat tinggalnya, kue apem tersebut masih hangat. Kemudian, karena jumlahnya tidak mencukupi untuk dibagikan pada cucu-cucunya, Kiai Ageng Gribig menyuruh istrinya untuk membuat kue apem lagi agar bisa merata. Kiai Ageng Gribig kemudian meminta kepada masyarakat Jatinom agar merelakan sebagian hartanya pada bulan Safar untuk disedekahkan kepada orang-orang yang datang. Mengetahui bahwa Nyai ageng Gribig bersedekah kue apem, masyarakat Jatinom ikut bersedekah apem.

Dari asalnya, jelas sekali esensi dari tradisi tersebut adalah sedekah dan tidak terdapat hal-hal yang merupakan penyimpangan akidah. Namun, dalam perjalanannya, ditemukan hal yang cukup menggelitik seperti bahwa apem tersebut merupakan syarat untuk bermacam-macam maksud. Bagi petani misalnya, apem tersebut merupakan syarat untuk kesuburan sawahnya. Adapula yang percaya bahwa apem tersebut akan membawa rezeki, jodoh dan sebagainya. Bahkan, menurut teman penulis yang merupakan warga Klaten, ada yang bukannya dimakan, apem tersebut palah ditanam di sawah dan dipaku pada pintu rumah.

Mempercayai datangnya jodoh, rezeki, kesuburan dari kue apem sudah merupakan penyimpangan akidah. Sebab, pelaku mempercayai datangnya sesuatu dari selain Alloh. Hal ini berbeda dengan percaya bahwa Alloh mendatangkan jodoh dan semacamnya lewat kue apem yang telah dibacakan do’a tersebut.  Contoh lain, di suatu daerah di Jawa Timur, dilarang mendirikan rumah menghadap selatan. Menurut keyakinan mereka, jika membangun rumah menghadap selatan akan mendapatkan musibah. Hal tersebut merupakan suatu penyimpangan. Sebab mereka mempercayai datangnya musibah dari mereka membuat rumah dengan menghadap selatan. Tapi, berbeda dengan berkeyakinan bahwa Alloh memberikan musibah lewat rumahnya yang menghadap selatan.

Fenomena semacam itu, tentu bukanlah hal yang sepele karena menyangkut masalah akidah. Kita tidak perlu menggugat tradisi teresebut, melainkan membenahi kesalahan yang ditemukan didalamnya. Hal semacam itu sering terjadi. Pada asal mulanya merupakan sebentuk ibadah yang dikemas dengan bentuk tradisi, tapi dalam perjalanannya terjadi penyimpangan.

Penyimpangan tersebut  tidak terlepas dari beragamnya interpretatif dalam masyarakat. Dan untuk menjaganya, tentu dibutuhkan peran tokoh agama dan pemerintah yang juga ikut turun dalam budaya tersebut mengingat penyimpangan-penyimpangan yang ada memiliki akibat yang fatal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun