"Normal" terlalu sempit jika hanya dipadankan dengan hal-hal tersebut. Jika saja mau menguliti, pada akhirnya saya mayakini bahwa "normal" ialah adanya sikap penerimaan.
Memperjuangkan hak-hak sesama, menjunjung tinggi kesetaraan, dan menyadari betul bahwa setiap kita adalah insan yang tak sama. Tentu saja, karena perbedaan adalah niscaya. Setiap kita telahir istimewa.
"Normal" berarti mau untuk tidak memicingkan mata pada mereka yang hadir luar biasa, saudara difabel kita. "Normal" adalah sikap adil yang ditujukan pada siapa saja; tanpa melihat ia berjalan menggunakan kaki atau kursi roda, tanpa meremehkan mereka yang terlihat lebih lugu daripada seusianya, tanpa mengucilkan mereka yang tidak berkesempatan mendengar kicau burung saat senja, tanpa menertawakan mereka yang tidak bisa berkata dengan suara.
"Normal" adalah sikap adil dan bijak dengan landasan asas setara. Kehadiran mereka bukanlah dosa. Maka, atas dasar apa kita membuat dunianya nampak seperti neraka?
Semesta memang sebaik-baik mata-mata. Ia menuntun uluran tangan pada perkenalan dengan Nalitari, yang tidak hanya membuahkan kenang. Bagi saya, pertemuan ini bak menemu permata di tengah laut Angkara; menemu pejuang hak sesama di antara triliunan angkuh serta egoisme makhluk yang disebut manusia.
SATU DALAM BEDA
Sesuai dengan namanya, Nalitari. Komunitas ini bergerak di bidang seni, utamanya ialah seni tari. Bernafaskan contemporary dance, Nalitari mampu memutus mata rantai kesenjangan "pendewaan" fisik dan memberi insight baru terkait definisi "normal".
Kegiatan yang dilaksanakan dengan bahan bakar nurani ini benar-benar seperti magic. Fantastis mampu mengubah mindset saya secara drastis. Senyum tulus yang terkembang saat para founder mengarahkan gerak-gerak sederhana, menghardik fikiran saya; bahwa saudara-saudara kita yang luar biasa mampu dengan tanggap memahami dan mempraktikannya.
Ternyata, semuanya tidak pernah soal "tampak luar"-mu seperti apa. Melainkan apa yang menggugah jiwa dalam laksana. Nalitari telah membuktikannya.
Siapapun bisa dan berhak mengekspresikan dan mengeksplorasi dirinya. Pribadi angkuhlah yang membut kotak marginalisasi itu ada. Pribadi penuh angkara yang menjadi kabut bahwa siapapun dapat bergerak dan berkarya.
Nalitari seakan menjadi wadah bagi siapapun yang ingin mengekspresikan isi hatinya, menyalurkan emosi sepenuh jiwa. Pada setiap tempo iringannya, kami menyatu dalam beda.