Makin lama makin miris hati saya menyaksikan dagelan tak lucu yang dipertontonkan elit politik negeri ini demi ambisi kekuasaan. Terlebih ketika dagelan ini tersangkut-paut dengan pengakuan seorang mantan terpidana kasus pembunuhan, Antasari Azhar.
Pengakuan Antasari bahwa Harry Tanoesudibjo pernah meminta agar KPK tidak menahan Aula Pohan terasan kabur. Apalagi sampai ada ancaman keselamatan jiwa. Terlebih jika dikait-kaitkan dengan SBY. Dagelan ini kerontang di tengah maraknya isu pelanggaran konstitusional yang dilakukan Presiden Jokowi karena tidak memberhentikan sementara Basuki Tjahaya Purnama, terdakwa kasus penistaan agama, sebagai Gubernur DKI Jakarta .
Baiklah. Sebagai mantan Ketua KPK, pengakuan Antasari tidak boleh serampangan. Perlu digarisbawahi, pengakuannya ini terkait dengan tindak pembunuhan yang dituduhkan kepadanya, sampai vonis di tingkat pengadilan tertinggi, yakni Mahmakah Agung.
Perlu dicermati, bagaimana sok bersihnya Antasari dalam berita portal media online tersebut. “Dia juga menyampaikan kepada HT apa pun risiko dari keputusan yang dia tempuh sudah siap dihadapi. Sebab, itu merupakan bagian dari konsekuensi profesinya sebagai penegak hukum.” (Rapler/ 14-02-2017).
Dengan keyakinan sekukuh itu, mengapa hal ini tidak diungkap oleh Antasari di meja hijau? Mengapa tidak ada fakta persidangan terkait hal ini? Padahal persidangan Antasari ini berlangsung bertahun-tahun, sejak dari tingkat pengadilan negeri sampai ke MA. Kamera pewarta mengincar setiap kata yang diucapkan Antasari serupa musafir yang kehausan di padang pasir. Jika saja Antasari mau buka mulut, barangkali vonis hakim akan berbeda. Tetapi toh, selama 12 tahun mendekam di tahanan Antasari tetap bungkam.
Ini jelas pengakuan yang dibuat-buat. Jika Antasari yakin dirinya tidak bersalah, mengapa ia mengajukan grasi kepada Presiden Jokowi? Bukankah grasi adalah suatu pengampunan atas kesalahan seorang warga negara yang diberikan oleh Presiden. Sehingga, dengan mengajukan grasi, Antasari secara tidak langsung mengakui bahwa dirinya bersalah.
Jika Antasari mendaku dirinya tak bersalah, seharusnya pengakuannya ini dijadikan bukti baru untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Bukan malah berkoar-koar di media. Sebagai mantan praktisi hukum, Antasari pasti amat sadar akan hal ini.Suatu kasus hukum harus diselesaikan di pengadilan. Hanya vonis rehabilitasi nama baik dari pengadilan yang bisa mencabut vonis bahwa Antasari adalah otak dibalik pembunuh keji , bukan pemberitaan media massa.
Kejanggalan ini membawa saya pada satu kesimpulan. Pengakuan Antasari tak lebih dari manuver politik yang dipaksakan. Siapa yang memaksakan? Kuat dugaan saya adalah lawan-lawan politik SBY. Antasari berhutang besar kepada Jokowi yang telah memberikannya grasi. Karenanya, Antasari harus siap menjadi pion dalam permainan kekuasaan. Tujuannya jelas untuk menjatuhkan citra SBY; untuk melorotkan elektabilitas Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni dalam Pilkada DKI Jakarta.
Silakan amati betapa oportunisnya Antasari belakangan ini. Sewaktu bebas, Antasari getol menyebut kalau ia ingin melupakan masa lalunya, dan fokus menghabiskan sisa hidupnya. Alih-alih bertafakur menyesali kesalahannya di masa lalu, Antasari malah mengeluarkan pernyataan yang mendiskreditkan SBY. Dan lucunya, untuk kali pertama dalam sejarah, ada seorang mantan terpidana kasus pembunuhan yang disambut dengan penuh penghormatan di istana negara. Bahkan dialog antara Antasari Azhar dan Jokowi dilakukan secara tertutup, tidak dihadiri oleh pewarta. Hal ini kian menegaskan adanya deal-deal politik dalam pemberian grasi Antasari.
Buktinya, paska pertemuan itu, serangan Antasari kepada SBY semakin gencar. Bahkan, dalam acara debat paslon Pilkada DKI Jakarta, Antasari hadir dan mendapatkan kursi terdepan. Lalu, tanpa sungkan ia menyatakan mendukung Ahok-Djarot. Apa yang melandasi Antasari mencampakan keinginannya untuk bertetirah mengisi hari tua, jika bukan deal-deal politik di istana itu?
Bahkan masyarakat awam pun dapat menyimpulkan skenario keji ini. Betapa vulgarnya permainan kekuasaan ini.
Saran saya cuma satu, bertobatlah Antasari Azhar. Tidak ada kesepakatan untuk berbuat kejahatan yang bisa diterima oleh kewarasan dan hati nurani. Sudah cukup dosa-dosa yang Anda lakukan di masa silam, jangan buat dosa-dosa baru; dosa-dosa yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan sisa hidup Anda. Sudah cukup cucu-cucu Anda merasa malu karena memiliki kakek yang menjadi otak kasus pembunuhan. Jangan lagi ditambah. Cukup sudah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H