Hasil dari partisipan tubuh-tubuh yang telah membumi, yang dikenal, tak dikenal, diketahui, ataupun diam-diam dan bungkam,
yang melepas raga demi sang bumi pertiwi,Â
Seperti kata temanku, oligarki sedang menggaungkan dan meneror tiap kepala di bawah benderaku tercinta.
Penjajah telah angkat kaki, tapi mereka meninggalkan sebuah warisan abadi, dalam satu tahta kekuasaan duniawi.
Meski kusadar dalam kebhinekaan tak mungkin bernaung dalam satu kepercayaan saja,
 akan tetapi intinya tidak ada isme yang membenarkan tindakan serupa yang kita lihat di layar kaca, layar kertas, dan di depan hidung sendiri, ia sangat garang, angkuh dan meraja, sebab ditunganggi suatu kuasa, yang katanya seperti sabda raja, titah yang menembus cakrawala rakyat jelata, tak bisa disangkal apalagi dilawan.
Idolaku pun melepas jiwanya dalam peluru rakyatnya sendiri, bangsanya sendiri yang menghunjamkan cap sebagai seorang pemberontak kala itu.
Cukup Ibu Pertiwi yang jadi saksi, ia tidaklah mati, ia Abadi dalam suara-suara yang saat ini berontak terhadap Oligarki, KKN dan penyakit lainnya, penyakit yang akan mengeroposkan benderaku sedari tiang sampai lambangnya, dan semoga tidak hanya akan jadi sebuah nama,.
Penyakit itu didendangkan oleh manusia dan sauadara sendiri dalam satu naungan burung Legenda,
Muliakanlah dan balaslah wahai Tuhan,Â
jika bukan idolaku yang Mengarungi ASIA, dan Dunia, SUNGGUH NEGARA INI TAK AKAN JADI !!!
"Sutan Tan Malaka" Karyamu meraup doa
*******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H