Mohon tunggu...
Gin
Gin Mohon Tunggu... Tutor - Pembaca paper akhir pekan

Menulis tentang apa saja

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ahok: From Hero to Zero

9 Mei 2017   20:00 Diperbarui: 9 Mei 2017   20:11 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejujurnya tulisan ini sudah dari beberapa waktu lalu ingin saya buat. Kalau ndak salah ingat tepatnya pada 19 April yang lalu, atau bertepatan dengan putaran kedua Pilkada DKI atau lebih tepat lagi setelah hasil hitung cepat (atau yang bahasa kerennya disebut quick count) diumumkan. Waktu itu seluruh lembaga quick count resmi yang ditampilkan di layar televisi menampilkan hasil yang nyaris seragam, yakni keunggulan 15 - 17% bagi pasangan Anies - Sandi. Suatu hasil yang tentunya sangat tidak mengenakkan bagi pasangan Ahok - Djarot. Hasil yang juga membuat posko pemenangan Ahok-Djarot menjadi sunyi senyap seketika karena nonton bareng quick count-pun jadi batal digelar. Spanduk besar bertuliskan tagar meyakinkan #Ba2ukiDjarotMenang hanya menjadi saksi bisu ungkapan pengakuan kekalahan Ahok - Djarot dalam Pilkada DKI.

Waktu itu saya urung membuat tulisan ini karena sesungguhnya meskipun sudah sangat akurat, hasil quick count tetaplah bersifat temporary and unofficial. Hasil resmi tetap berada pada real count menyusul pengumuman versi KPU. Selain itu, pertaruhan nasib Ahok juga masih menyisakan satu drama yang tak kalah panasnya dengan Pilkada: dugaan penistaan agama. Kasus yang dianggap banyak orang sepaket atau memiliki keterjalinan kuat dengan Pilkada DKI itu sendiri. 

Jika kita dipaksa flashback ke beberapa waktu yang lampau, masih teringat jelas bahwa sampai sekira awal tahun 2016, hampir seluruh portal berita dari yang cetak hingga digital sampai media sosial kita disesaki dengan berita dan artikel yang sungguh memamerkan bagaimana superiornya gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. "Siapa Penantang Ahok?" atau kira-kira "Siapa Berani Lawan Ahok?". Luar biasa! Bak tak ada tandingan. Tak ada lawan. Tak ada saingan. Nama-nama yang mengisi bursa calon penantang seperti dua ex-menteri, Yusril Ihza dan Rizal Ramli bahkan seolah hanya dianggap sebagai angin lalu yang tak masuk hitungan. Periode II harga mati! Yakinnya, beliau bakal melenggang mulus menuju kursi gubernur 2017 - 2022 tanpa hambatan berarti. Salah satu puncaknya, beliau dan barisan pendukung bahkan sesumbar tak butuh partai politik! Karena begitu dicintainya yang bersangkutan, karena begitu diidamkannya oleh rakyat Jakarta (untuk memimpin kembali). Setidaknya begitu kata media.

Tapi apa yang terjadi kemudian? Saya selalu ingat sebuah ungkapan klasik "kesombongan itu tanda kejatuhan sudah dekat". Sifat jemawa memang terkadang membuat seseorang menjadi lupa. Waktu demi waktu berlalu. Kasus Sumber Waras, Reklamasi, hingga puncaknya Al-Maidah 51 tampaknya menjadi serentetan episode yang menjungkirbalikkan semua prediksi. Jalan Ahok menuju kursi gubernur menjadi tak mulus lagi melainkan berubah terjal berbatu! Jika hujan berlumpur pula! Begitu sulitnya..

Putaran pertama (15 Februari 2017) dilalui Ahok dengan senyuman membahana yang bersama sang cawagub keluar sebagai peraih suara terbanyak diantara ketiga kandidat. Akan tetapi, cerita indah nan manis itu pudar beberapa waktu kemudian. Hari-hari ceria itu terasing entah kemana, berubah mendung sejak putaran kedua (19 April 2017) dimana pada versi hitung cepat akhirnya Ahok - Djarot harus keok mengakui keunggulan Anies - Sandi. Belum lagi hilang kepedihan, sehari berikutnya hari-hari kelabu menghampiri bersambut putusan bersalah dari Jaksa Penuntut Umum berbuah tuntutan 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun (sebuah tuntutan yang baru bisa saya mengerti setelah googling). Dua minggu kemudian (4 Mei 2017), KPU resmi mengumumkan bahwa Anies - Sandi lah Gubenur dan Wakil Gubernur terpilih. Sebuah pengumuman yang kemudian membuat balaikota Jakarta dibanjiri karangan bunga bak ungkapan turut berduka cita dan berbelasungkawa, entah siapa yang meninggal disana. Miris bagi Ahok, hanya berselang lima hari kemudian hakim justru mengetuk palu berbuah vonis lebih berat dari tuntutan JPU, yakni penahanan 2 tahun penjara. Kali ini bukan karangan bunga, putusan itu membuat sekelompok Ibu-Ibu nangis sedih tersedu-sedu di depan gedung Kementan yang menjadi tempat pembacaan putusan..

Apes bagi Ahok. Lantas tersisa apa lagi? Padahal barisan pendukung atau kerennya disebut diehard fans-nya sudah melempar wacana Ahok sebagai ketua KPK, Menteri, hingga Wapres?! Ndak sekalian presiden USA ketua PBB ya? :) Pupus sudah harapan. Apa lacur, nasi sudah menjadi *inja < ninja

Berpikiran positif? Ya tentu saja. Sudah barang tentu ada hikmah yang tersirat dibalik setiap peristiwa. Tak peduli itu nikmat atau musibah. Saat yang tepat bagi Ahok untuk kembali mengingat dan tengok semua yang telah terjadi beberapa waktu belakangan. Apa kabar korban penggusuran, pesisir Jakarta, atau ex-ketua partainya dulu? Tak lupa salam hangat untuk segelintir Ibu-Ibu yang kucingnya mati di depan gedung Kementan siang tadi. Sedih ya, sampai nangis segitunya. Hidup ndak sebercanda itu, Bu. Saya sayang Ibu-Ibu sekalian..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun