Mohon tunggu...
Novita Nurfiana
Novita Nurfiana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Eccedentesiast, ichthyophobia, gamophobic, Cynophobic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wibisono dan Pagar Bercat Coklat

29 Februari 2016   10:53 Diperbarui: 29 Februari 2016   11:10 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya Wibisono. Dulu aku selalu takut pada anak itu, bertubuh tinggi dan berpostur besar, namun berbeda dengan anak-anak di lingkunganku yang lainnya dia tidak berkawan dengan siapapun. Bahkan kenyataannya dia justru tidak memiliki teman, yang dilakukannya hanya duduk melihat kami dari balik pagar rumahnya yang bercat coklat berlarian ke sana ke mari dan setiap dia terlihat hendak bergabung kami semua selalu lari tunggang langgang. Ketakutan.

Ada yang berbeda dengannya, dengan tubuh dan postur yang dimilikinya dia terlihat lemah dan…entahlah bagaimana menjelaskannya tapi mungkin aku harus menjelaskan bagaimana keadaannya melalui panggilan kasar yang biasa aku dan kawan-kawanku lemparkan kepadanya, Si Oon. Baru beberapa tahun kemudian aku tahu kalau dia seorang anak terbelakang.

Pernah suatu kali di masa remajaku, saat aku merasa sedih, aku berjalan menelusuri jalanan di kampungku selewat sholat maghrib dengan alasan ingin ke warung untuk membeli makanan kecil. Setelah pulang dari warung aku melihat anak itu lagi, dengan tubuh yang besar dan tambun duduk menangis di balik pagar ditingkahi suara ibunya yang membujuknya masuk ke dalam rumah.

“Ayo nak, masuk sudah malam, nanti dimakan macan,” kata ibunya membujuk.

Sungguh cara yang sangat aneh untuk membujuk seorang anak, suara dalam batinku terkikik geli. Namun entah kenapa, berbeda dengan aku yang biasanya hanya akan berlalu sambil memandang wajah memelas Ibunya, aku melangkahkan kaki ke pagar bercat coklat itu sambil menyodorkan coklat batangan yang kubeli untuk alasanku keluar rumah.

“Mau ini?” tanyaku padanya dari balik pagar sambil terkejut pada diriku sendiri.

“Lho mba Retno, tuh ayo Wibi, Wibi dikasih coklat mba Retno tuh,” kata Ibunya berusaha membujuknya lagi

“Kalau Wibi mau masuk nanti aku kasih coklat ini, kan kasian Ibu kalau malam-malam di luar,” Wibi berhenti merengek dan tersenyum.

Wibisono mengangguk dan mengambil coklat dari tanganku melalui sela-sela pagarnya. Aku tersenyum dan bagai sihir semua rasa sedihku hilang begitu saja.

“Sudah malam kenapa Retno masih di luar?” tanya Ibu Wibisono.

“Jajan Budhe, sekalian cari angin,” jawabku sekenanya.

“Angin banyak kok dicari Nduk”, katanya lagi sambil terkekeh

Sejak saat itu sesekali aku berinteraksi dengan Wibisono melalui sela pagar bercat coklat itu, sekadar menanyakan apa dia sudah makan, sesekali memberikan cemilan atau hanya menyapa Ibu anak yang terlihat sangat mencintai si pagar coklat karena sering sekali terlihat menghabiskan waktu di sana.

Kalau sudah begitu kadang Mama perlu memanggilku dari halaman rumah, karena walau Wibi tidak lancar berbicara setidaknya Ibunya selalu ada sebagai sang penerjemah dan akan membuatku berlama-lama di depan rumah itu.

Aku tidak pernah masuk ke balik pagar, semua interakasi kamu terjadi dibatasi pagar bercat coklat di rumah besar itu.

“Maaf ya Mba Retno, Ibu ndak pernah nyuruh masuk,” kata Ibu Wibi suatu hari mengawali pembicaraan sore itu.

“Ndak apa-apa Budhe, di sini isis kok jadi enak ngobrolnya,” jawabku sambil memandang Wibisono yang mulai menunjukkan tanda-tanda keremajaan namun terhalang mental yang berhenti berkembang.

“Dulu pernah dibuka, biar anak-anak mau main sama Wibi eh tapi kok Wibinya malah dilempari batu, diludahi, diejek bahkan pernah dikencingi Anggoro anaknya Pak Wasis yang rumahnya di ujung sana,” cerita Ibu Wibi dengan mata berkaca-kaca menahan air mata.

“Biar anaknya ini bodo, cacat mental tapi yo kalau dipulosoro gitu ya ngerti kan Ret,” tambahnya lagi sambil mengeringkan butir air mata yang sukses meluncur dari matanya.

“Awalnya Wibi itu sehat lho Ret, ya kayak kalian gini yo normal. Dulu Budhe telat bawa ke rumah sakit waktu Wibi sakit, akhirnya malah jadi kayak gini, Budhe nyesel Ret nyesel,” kata Ibu Wibi mengakhiri pembicaraan.

Sore itu kami akhiri dengan isak tertahan Ibu Wibi dan menjadi hari terakhir aku menghampiri Wibi yang duduk sendiri di balik pagarnya. Aku diterima kuliah di Jakarta, meninggalkan kampung yang mengungkungku tanpa menyadari sampai akhir hayatnya Wibi menungguku dengan setia duduk di balik pagar bercat coklat itu.

===

Beberapa tahun berlalu, setiap kali pulang ke kampungku aku selalu melihatnya di balik pagar rumahnya, memamerkan senyum sumringah dan gigi-gigi kuningnya dari sela pagar kayu bercat coklat itu, dengan wajah yang selalu belepotan dan kotor (aku selalu heran dengan ingus yang selalu bergelantungan di hidungnya, apa dia selalu terkena flu) dia selalu melambaikan tangannya kepadaku tapi selalu terburu-buru aku membalas lambaian tangannya sambil lalu, seolah tidak ada hari esok aku melupakannya dan tenggelam dalam duniaku.

===

Wibisono meninggal pekan lalu, berita yang disampaikan Ibu lewat telepon itu bagai petir di telingaku, si anak bongsor sudah pulang ke rumah Tuhan, kembali ke Maha Esa. Sejuta kenapa menggantung di otakku, apa yang terjadi pada anak berwajah polos dan ramah yang selalu kotor karena ingus yang bercampur dengan debu dan tanah.

Aku merasakan desakan untuk pulang dan demi menunaikan kedesakan itu aku membeli tiket kereta paling murah demi mencari jawaban demi mencari ketenangan.

Tepat dini hari aku sampai di rumah, perjalanan yang tidak menyenangkan dari stasiun ke rumah harus melalui pagar bercat coklat tempat Wibi biasa duduk bersila dan ini aneh, aku merasa janggal melihat pagar itu tanpa senyum gigi kuning Wibi menyembul di sela-selanya.

===

“Wibi sangat senang saat Retno kasih coklat waktu itu,” kata Ibu Wibi sambil membawakan teh hangat saat aku mengunjungi rumahnya untuk berbelasungkawa.

“Itu hanya sebatang coklat murah yang kubeli dengan sisa uang saku hari itu,” kataku sambil memandang wajah Budhe yang begitu tua dan lelah.

“Walau begitu, itu sangat berarti untuk Wibi yang selalu menunggu di balik pagar, menanti teman yang mau bermain dan menghabiskan waktu dengannya Retno, teman yang justru menghinanya karena perbedaan yang dia miliki,” tak lagi Ibu Wibi menahan tangisnya seperti waktu itu.

“Wibi menanti dengan sabar setiap hari sampai malam tiba dan dia lalu akan menangis masuk ke dalam rumah sambil berkata dengan ucapan yang tak jelas bagi siapapun, dia lelah menunggu siapapun datang untuk menemani harinya yang sepi.”

“Lalu kamu datang Ret memberikan apa yang tidak pernah sanggup Budhe berikan untuk meringankan kesedihannya, Oh iya, Wibisono bersedih setiap hari melihat satu-persatu kalian bermain lalu tumbuh dewasa, tapi setidaknya sebelum Wibi meninggal dia memiliki satu sahabat yang selalu membuatnya tersenyum hanya dengan melihat sebungkus coklat. Terimakasih Retno,” kata Ibu Wibi mengakhiri kunjunganku yang pertama dan terakhir ke rumah berpagar coklat itu.

===

Ibu Wibi lupa menutup pagar bercat coklat itu dan hari itu Wibi sangat merindukan Retno yang sudah lama tak terlihat melewati depan pagar rumahnya, Wibi ingin membeli coklat murah dengan rasa sedikit tengik itu demi menghilangkan rasa rindunya pada Retno.

Namun Wibi berbeda, sepanjang jalan Wibi dihina dan dimaki bahkan beberapa anak-anak kecil mulai mengaraknya dan melemparinya dengan kerikil kecil yang mereka pungut di pinggir jalan. Membuat Wibi merasa sedih dan asing.

Wibi hendak kembali pulang saat tiba-tiba ada mobil truk pengangkut sayur yang mengebut dan kehilangan kendali, truk itu hampir mungkin saja menabrak seorang anak yang baru saja melemparinya dengan berkeping-keping kerikil seandainya Wibi tidak dengan cekatan mendorong anak itu dan menumbalkan dirinya sendiri.

Wibisono terpental sesaat setelah tubuhnya ditabrak truk itu, tubuhnya penuh lebam dan darah keluar dari mulut, hidung dan telinganya. Kata-kata terakhir yang berusaha diucapkan Wibi adalah “Retno” dan “Coklat” yang tentu saja tidak dimengerti oleh siapapun selain si pemilik nama dan Ibunya.

 

Cerpen ini juga dimuat di Sini 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun