Mungkin kesalahanku, adalah dirimu.
Dengar. Aku hanya si idiot yang patah hati. Ditampar realita, ditikung mimpi-mimpi. Kukira sebentar lagi musim semi. Masalahnya, mawar dara memang berduri.
Kupikir, disisimu saja cukup.
Rasa ini menjebakku. Membelenggu, menggundahkan yang tak perlu. Kutepis jarak, tetapi ruang menggema kata tunggu. Senyum dan tangismu, ternyata bukan untukku.
Kupikir waktu berpihak padaku.Â
Sebab pagiku menolak mengusir waktu. Menyambut hadirmu yang menghangatkan kalbu. Membuat napasku memburu, tak cukuplah secawan rindu. Bak mahligai asa, perutku berkupu-kupu.
Dan rupanya, hanya aku.Â
Berapa lama waktu telah berlalu? Sekarang, kau bagian dari hariku dan aku terbiasa dengan itu. Jika kau pergi, bagaimana denganku? Apa semuanya akan kembali seperti dulu? Seperti hari-hari saat duniaku hanyalah pagi malam nan bisu?
Pertanyaan itu mengekang dadaku. Sedang logikaku enggan membantu.
Andaikan ini novel, kuhajar penulisnya! Tega sekali bajingan itu membuatku gundah gulana. Membuaiku dengan bait aksara, sengaja membuatku lupa angka-angka. Didera kecewa nan membabi buta. Terluka. Â
Dan kau, sibuk mencari bahagia.
[Solok, 13 Januari 2022: Inspired by Deehan dari Mahika]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H