Membisu.
Oleh kata terlupakan waktu.
Ketika langit kelam menggerutu.
Semu. Menunggu.
Kisah kita tidaklah syahdu.
Hanya secercah dari takdir yang berbuku-buku.
Sedang jiwa kita terus merindu.
Bagai kejora yang tampias oleh abu.
Tertipu. Dan terus begitu. Berulang-ulang, terlupa teringat, sesal lebih banyak menghantu.
Karena kisah kita hanya sepenggal syahdan.
Gelora hasrat melenguh tak tertawan.
Untuk mawar merah yang layu di vas karatan.
Lidah bilang ini ujian. Padahal bukan.
Tertipu. Dan terus begitu. Berulang-ulang, terlupa teringat, rasa membuat akal membatu.
Napas menolak mawas diri.
Saat wajah di cermin dipenuhi carut marut hati.
Ganda mendua, yang terlihat bukan yang asli.
Elegi.
Mata terpedaya gemerlap dunia.
Asa dilupa hingga bulan tiba.
Dosa tertawa saat ditampar realita.
Pengembara yang terlupa.
Tertipu. Dan terus begitu. Berulang-ulang, terlupa teringat, jendela berderak oleh angin yang ngilu.
Karena, kita bukan siapa-siapa.
Langit bertetap, nisan selalu jadi akhirnya.
Usah dikata semua orang tahu maknanya.
Wangi atau busuknya kamboja, terserah kita.
Benar. Hanya terserah kita.
[Solok, 27 Agustus 2021]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H