Awan hitam temaram seolah ingin berkabung.
Angin membelai, dinginnya memenuhi relung.
Padahal, takbir sedang menggema agung.
Bersyukur, napasku bertemu I'd lagi.
Senyum merekah wajah-wajah bahagia terpatri.
Walau hidup sedang dikungkung pandemi.
Lemah mati masih bersandar pada Yang Maha Suci.
Kemudian, langkah kakiku menyusuri jalanan.
Ternak terlihat takzim hendak dikurban.
Bagi kami, hukum surga haruslah dilaksanakan.
Sebagai ungkapan jiwa masih bersyukur pada Tuhan.
Asalnya, tuntunan ayat sakral kisahnya.
Welas kasih Ibrahim A.S. jelaslah tiada tara.
Namun, Tuhan lebih besar kuasa-Nya.
Ia tahu, kalau hati tunduk, mestilah selembut sutra.
Jadilah ia kurbankan anak tersayangnya.
Patuh tunduk bahwa setiap jiwa adalah Hak semesta.
Oh bagaimanalah... hati berombak ia lakukan jua.
Semesta lantas bertasbih. Mengagumi ikhlasnya.
Lantas, bagai membalik telapak tangan,
Tuhan perlihatkan mukjizat-Nya.
Tuhan menggantinya, imbalan penghambaannya.
Takbir lantas menggema mengguncang arasy-Nya.
Kisahnya lalu terpatri suci memuji Rasul-Nya.
Tentang baja hati oleh tawakkal, hikmah tuk penerusnya.
Sekarang, mentari mengusir kasar mendung awan.
Zikir-zikir berkumandang, tabuh beduk digelarkan.
Wangi harum menguar, gaduh dapur oleh periuk masakan.
Tangan menangkup, berjarak, bermaaf-maafan.
Kuhela napas, pada langitku menengadah.
Tenang. Kali ini bukan untuk melontar amarah.
Ku tahu, terhina diri berlumur dosa oleh jiwa yang pongah.
Namun bersungguh diri aku memohon, biar hati lapang dan terarah.
Tuhan, terima kasih. Masih mengizinkanku berbagi kasih.
Tuhan, terima kasih. Memberi kesempatan menyejukkan hati yang perih.
[Solok, 20 Juli 2021: Met I'd Adha tuk para rekan yang merayakan!]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H