Dengar, aku punya cerita.
Ini tentang si elang pengembara.
Tajam paruh bulu lebatnya gagah perkasa.
Penguasa langit tiada tandingnya.
Kilau mata dan cakarnya mengundang horor.
Tukikannya bagai peluru mengejar meteor.
Ia juga senang berperan layaknya aktor.
Senyumnya elok, namun suka menebar teror.
Keren, bukan?
Auranya bagai bias mentari di pagi hari nan elegan.
Penampilannya menjadi simbol kekuasaan.
Entah tuk keadilan... Atau ketamakan.
Namun, apa kau tahu?
Si elang rupanya punya hidup yang rapuh.
Ketika umurnya dimakan sepuh.
Panjang paruhnya kan menyakitkan tuk melenguh.
Seolah berkhianat, bengkok paruhnya sebabkan ia terbunuh.
Saat itu, ia mendongak dengan mata emasnya.
Napasnya menderu memandang langit biru di atasnya.
Pencipta menggaris tegas ujung takdirnya.
Tak tertawar. Bukan hanya manusia yang berat bebannya.
Hidup atau mati?
Jika menyerah, ia akan mati.
Paruhnya memanjang merobek diri sendiri.
Sombongnya tak berguna lagi.
Karma alam datang. Ia merugi.
Namun, jiwa si elang membara.
Ada harga tak tertawar yang harus dibayarnya.
Ia tahu. Hidup bagai jual beli derita.
Jadi, paruh gagahnya... Ia harus mematahkannya.
Caranya? Siang malam ia harus mematuk.
Bebatuan mesti keras diketuk.
Si elang kan bercuit pedih sambil merutuk-rutuk.
Hingga patah, Tuhan akan selalu dikutuk.
Lantas, Angin bertiup membawa berita.
Si elang pengembara kembali menyalak ganas mencari mangsa.
Kembali muda tertebus neraka dunia.
Cerdik akalnya tahu. Nilai sebanding dengan lukanya.