Mohon tunggu...
Humaniora

Berpihak Pada Anak

26 April 2016   10:01 Diperbarui: 26 April 2016   10:44 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Poster #BerpihakPadaAnak www.savethechildre.or.id

Empat tahun lalu, Perusahaan Kereta Api Jepang mempertimbangkan berhenti melayani rute ke stasiun Kyu-Shirataki di Pulau Hokkaido karena sepinya penumpang. Hingga suatu hari mereka menyadari ada seorang anak sekolah yang setia menggunakan layanannya setiap hari; pada saat berangkat sekolah dan pada saat pulangnya. Akhirnya karena desakan para orang tua, pemerintah memutuskan untuk tetap mengoperasikan kereta apinya. Selama bertahun-tahun, kereta api itu beroperasi dua kali sehari yaitu saat sebelum jam sekolah dan beberapa saat setelah jam sekolah berakhir. Demikian ia lakukan beberapa tahun sampai si anak lulus sekolah.

Bagi saya, cerita itu menginspirasi bagaimana seharusnya negara berpihak pada anak. Bersekolah adalah salah satu cara seorang anak mendapatkan haknya atas layanan pendidikan. Hak seorang anak bagaimanapun kondisinya harus dihargai, dan negara sebagai pemangku kewajiban harus berusaha memenuhinya.

Mengacu pada Konvensi Hak Anak, setiap anak sebetulnya memiliki hak untuk bertahan hidup, belajar, dilindungi, tumbuh kembang dan berpartisipasi. Sedapat mungkin setiap anak hidup bersama keluarganya, mendapatkan kasih sayang dan perlindungan, dapat mengakses layanan dasar pendidikan dan kesehatan, serta didengarkan pendapatnya. Disisi lain negara berkewajiban untuk memenuhi hak anak, demikian juga dengan orang tua dan atau pelindung lainnya.

Saat ini di Indonesia, setiap hari 400 anak meninggal dunia sebelum ulang tahun yang ke lima. Satu kejadian yang sebetulnya bisa dicegah. Satu dari tiga anak Indonesia mengalami masalah tubuh lebih pendek dari rata-rata, yang merupakan indikasi dari kekurangan gizi kronis. Demikian juga hampir 6 juta anak tidak mendapatkan haknya untuk wajib belajar pendidikan dasar. Lebih dari 4 juta lainnya tidak mendapatkan pendidikan menengah. Sebanyak 2,3 juta anak masih dipekerjakan, sebagian diantaranya terjebak dalam pekerjaan-pekerjaan terburuk seperti misalnya prostitusi.     

Dimanakah mereka berada? Mayoritas kasus ada di Jawa, wajar karena memang pulau ini dihuni 65 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Tetapi jika melihat komposisi penduduknya, daerah timur Indonesia dan daerah lain yang lebih terpencil memiliki persentase kematian balita tertinggi dan angka partisipasi sekolah terendah. Kemampuan literasi mereka juga lebih rendah.   

Tidak heran gambaran semacam itu yang terjadi. Karena layanan dasar yang menjadi sarana untuk mengatasi masalah itu, memang masih belum merata. Misalnya saja lebih dari separuh kelahiran di Papua tidak didampingi oleh tenaga kesehatan, padahal di Indonesia secara umum hanya 2 dari 10 ibu yang mengalaminya. Tak mengherankan memang karena lebih dari separuh dokter tinggal di Pulau Jawa dan Bali. Tantangan geografis memang menjadi masalah utama di Indonesia demi mendapatkan layanan dasar yang baik.

Ya, pekerjaan rumah pemerintah Indonesia kelihatannya memang masih besar, walaupun Indonesia diakui telah mengalami kemajuan dalam capaian Rencana Pembangunan Milenium (MDG) dalam 15 tahun terakhir. Menuntaskan pekerjaan MDG menjadi prioritas dalam kerangka rencana pembangunan global baru di bawah bendera Rencana Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Yaitu bagaimana agar kematian balita bisa berkurang lagi sampai separuhnya dan semua anak mendapatkan akses terhadap pendidikan.      

Menerobos ketimpangan geografis nampaknya harus menjadi prioritas. Pemerintah perlu membuat kebijakan untuk pemerataan layanan dasar, hingga menjangkau ke daerah-daerah yang terpencil dan paling sulit sekalipun. Atau mendekatkan anak dan keluarganya ke fasilitas layanan dasar. Konsentrasi dokter dan guru yang terpusat di Jawa harus di atasi. Dahulu pemerintah memiliki program yang bagus dengan mengharuskan dokter untuk mengabdi di daerah terpencil selama 2 tahun sebelum mendapatkan ijin praktek. Mungkin hal yang sama perlu diterapkan untuk guru. Segala daya upaya harus dikerahkan untuk menjangkau mereka yang tertinggal. Tentunya pembangunan infrastruktur juga harus dibenahi untuk memudahkan akses transportasi setiap orang ke layanan dasar yang mereka butuhkan.           

Karena alasan ini Save the Children – Yayasan Sayangi Tunas Cilik meluncurkan Kampanye #Berpihak Pada Anak atau # Every Last Child demi mendukung anak-anak yang paling ditinggalkan, untuk mendapat prioritas atas pemenuhan haknya. Tidak seorang anakpun boleh ditinggalkan. Hanya dengan memprioritaskan anak-anak yang paling tertinggal, paling terpencil, paling marjinal dan paling terdiskriminasi – bangsa Indonesia akan benar-benar dikenal sebagai bangsa yang besar, yang welas asih kepada kaum papa.

indonesia-elc-poster-2-ps-571ee2e58d7e61f206bf5c5a.jpg
indonesia-elc-poster-2-ps-571ee2e58d7e61f206bf5c5a.jpg
Poster #BerpihakPadaAnak www.savethechildre.or.id

Tatak Ujiyati – Direktur Advokasi dan Kampanye, Yayasan Sayangi Tunas Cilik mitra Save the Children Internasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun