Mohon tunggu...
Mega Trianasari
Mega Trianasari Mohon Tunggu... lainnya -

Suka menulis dan berkhayal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saksi yang Selalu Bergeming

13 Januari 2014   20:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari sudah setengah jalan. Matahari membakar sekujur badan. Berlebihan bagimu. Namun bagiku rasanya memang begitu. Aku bukan kamu. Aku merasakan sesuatu yang tidak kau rasakan. Melihat sesuatu yang tak dapat kau lihat.

Kau akan terkejut jika kau kuberitahu siapa aku ini. Tidak, tenang saja. Aku tak akan memberitahu siapa aku di akhir cerita. Aku akan beritahu sekarang saja. Aku adalah pohon.

Kau pasti tertawa atau paling tidak mengernyitkan dahimu. Hingga membentuk dua anak panah yang bertabrakan.

Aku pohon randu. Pohon yang sudah meneduhi perempatan Sukamenanti selama ratusan tahun. AKu lebih tua dari nama perempatan Sukamenanti. Jika kau dan keluargamu memeluk aku. Tangan kalian tidak akan sampai. Jika kalian mencoba menebangku dan menghitung berapa buah lingkaran yang ada di dalam batangku  --- bah pasti itu akan menyakitkan, moga saja kau tidak akan benar-benar melakukanya  ---- kau akan kebingungan karena lingkaran-lingakaran yang ada di tengah batang saling bertautan.

Saat kemarau aku menggugurkan daunku, seperti saat ini. Rasanya gerah punya banyak daun.  Anak-anak senang saat aku merontokan daun. Mereka berimajinasi sedang berada di negeri yang mengalami musim gugur.  Pernah kumpulan musisi jazz amatiran menggelar pertunjukan bertajuk ”Autumn leaves: Tribute To Old Tree” di bawah batang pohonku. Aku terharu, sebegitu dihormati . Agar suasana lebih dramatis, aku merontokan daun setiap 10 menit.

Mungkin kau akan bertanya, apa sih rasanya jadi pohon? Apa sih enaknya jadi mahluk hidup yang tidak bergerak? Stop. Stop disitu dulu. Kau salah, aku bergerak. Meski tidak berpindah namun aku bergerak. Bukankah ada manusia yang seperti aku? Bergerak tapi tidak berpindah? Namun bedanya aku memang sudah ditakdirkan seperti ini. Nasibku sudah seperti ini. Manusia kan bisa menentukan pergerakannya. Nasib dan takdir adalah hasil perbuatanya.

Sebagai pohon tua, ada pula mitos yang menyelubungi keberadaanku. Yang percaya rumor mistis pasti senang mendengar rumor ini. Banyak yang bilang. Ada penunggu yang tinggal di dalam tubuhku. Mereka bilang perempuan cantik yang gantung diri enam puluh tahun lalu. Maka, semenjak rumor itu beredar, banyak orang yang membawa sesajian untuk menghalau ruh gadis yang gantung diri itu. Ada yang membawa buah-buahan, kambing yang habis disembelih, kue-kue, senjata-senjata kecil yang terbuat dari perunggu yang ditanamkan di dekat akar. Padahal ketika malam tiba, gelandangan yang kelaparanlah yang memakan itu semua, bukan ruh gadis yang gantung diri.

Lebih parahnya lagi, untuk menghalau ruh gadis yang mati gantung diri, beberapa remaja tanggung mengencingi batangku. Kemudian mereka membaca mantera aneh seingatku beginilah bunyinya

Wang winghon pohon tua

Grek grok grek honje honje

Antar si gadis menuju barzah

Bebaskan ia dari arah yang salah

Wang winghon pohon bangkotan

Antar si gadis kencur menuju matinya

Jangan biarkan ia keliaran, ini kembang buat ongkosnya

Lalu mereka sirami bekas kencingnya dengan air kembang. Beberapa waktu setelahnya, rumor itu hilang karena ada rumor yang lebih dianggap menyeramkan. Mewabahnya penyakit Gestapu.

Betapa ketakutan memang membuat manusia menjadi bodoh sekaligus jenius.

Aku mau klarifikasi. itu tidak benar. Tidak pernah ada hantu atau wanita yang gantung diri di dahan ku. Aku rasa cerita itu tersebar karena manusia senang menghubung-hubungkan kejadian mistis dengan bentuk tubuhku yang bongsor dan terkesan angker. Iya memang, aku terlihat angker, meskipun begitu aku tidak angker sama sekali. Burung-burung, bunglon,  dan lebah senang membuat sarang di atas dahan-dahanku yang kokoh. Tak ada hantu, hantu itu hanyalah proyeksi ketakutan manusia. Penjelmaan ciutnya nyali manusia yang kalah dengan pertengkaran batinnya sendiri.

Namun akibat citra angkerku, tak ada yang berani menebangku. Mereka menghormatiku. Bahkan manusia tak ada yang berani memasang gambar-gambar caleg yang dapat menyakiti dahan pohon. Rumor beredar, caleg yang  memaku gambarnya di dahanku akan kalah.

Banyak peristiwa yang sudah aku saksikan. Ratusan tahun adalah jangka waktu panjang. Jika saja aku bisa menulis mungkin aku akan menjadi pencerita yang laku.

Pernah pada suatu waktu, sekitar enam puluh tahun lampau,  seorang lelaki yang memanggul senjata menyelipkan surat di sela-sela dahanku. Surat itu ditujukan pada temanya, isi surat itu tentang isu bahwa pasukan sekutu akan mendarat di pulau jawa dengan membawa Belanda. Tapi hingga sekutu datang temanya tak pernah datang. Karena Ia mati tertembak musuh.

Ada juga kisah seorang suami yang menunggu istrinya yang jadi buruh migran pulang. Ini sekitar dua puluh tahun lalu. Istrinya bilang pada suaminya untuk menunggunya pulang dari negeri Arab di perempatan Sukamenanti, di bawah dahanku. Ia bilang ia akan bekerja di Arab satu tahun. Pada tanggal yang ditentukan sang suami duduk di akar pohonku. Ia menunggu sambil merokok. Tapi istrinya tak kunjung kelihatan. Lalu hingga lima tahun kemudian suaminya tetap sabar menunggu. Istrinya juga tak juga keliatan. Keesokan harinya sang isteri terlihat. Isterinya yang cantik pulang berdua dengan seorang anak laki-laki kecil, berumur empat tahun. Suaminya bertanya:

Dik, itu anak siapa?

Sang isteri hanya menunduk, tak menatap mata suaminya, lalu ia berkata

Abang, aku minta talak, ini anakku dari majikanku

Ada pula cerita bahagia. Kira-kira lima tahun lalu, ada seorang wanita yang dikenal sebagai wanita yang miring. Bukan jalannya yang miring tapi pikiranya agak miring. Dia senang bicara sendiri sambil bersandar di dahan pohonku. Ia bicara tentang apa saja. Tentang menjadi ratu adil, tentang membangun koloni di sebuah pulau tak berpenghuni, tentang menggandakan duit dari daun-daunku yang berguguran……

Masih banyak yang ia igaukan. Bahkan ia mengajaku berbicara dan jika ia terpilih menjadi ratu adil ia akan mengangkatku menjadi perdana mentrinya. Mungkin jika impianya terwujud, aku akan menjadi perdana menteri pohon pertama.

Kasihan wanita miring itu, ia menjadi miring setelah keluar dari penjara wanita karena kasus suap. Dahulu ia seorang gubernur dan keluarganya menguasai suatu daerah. Orang-orang menyebutnya sebagai ratu kadut. Karena sepak terjangnya seperti ular kadut. Merayap diam-diam menangkap mangsa yang lebih besar dari badannya sendiri. Karena kekenyangan dan tak mampu membawa tubuhnya merasuk lubang yang sempit, lalu  ia mulai terang-terangan.

Agar dinastinya tetap lestari, ia bayar hakim undang-undang agar selalu memenangi sengketa surat suara di daerah suadara-saudaranya bertarung. Tapi namanya juga hidup, lampu Tuhan menyorot terang-terangan ke arahnya, pada suatu ketika. Dan ia dikurung selama sepuluh tahun, potong masa tahanan Sembilan tahun.

Konon ia hanya ada dipejara satu tahun. Sisanya ia di rumah sakit jiwa. Lama kelamaan dinastinya rontok, karena dimiskinkan. Saudara-saudaranya banyak yang meninggal dunia karena tak tahan hidup miskin sebagaimana kaum brahmana.

Wanita miring itu kabur dari rumah sakit jiwa setelah mengelabui perawat bahwa ia akan pergi ke kamar kecil. Entah bagaimana caranya ia berhasil keluar pagar rumah sakit untuk melanglang buana, mewartakan ramalan ratu adilnya. Sampailah pada suatu ketika di mana ia selalu bicara sendiri sambil bersandar di dahanku.

Setelah bosan membicarakan ratu adil, membangun koloni di sebuah pulau tak berpenghuni, menggandakan duit dari daun-daunku yang berguguran ia mulai berbicara tentang masa lalunya ketika ia menjadi sekretaris partai pohon mahoni. Ia bicara tentang uang-uang yang mengalir. Tentang tangan-tangan pembesar yang mengadah. Tentang wanita-wanita yang bersolek di meja operasi. Tentang daging, tentang kompleks atlet, tentang jalan tol, tentang sekolah roboh, tentang jembatan putus.

Ia bicara tanpa jeda. Sampai suatu ketika ada juru warta yang mendengarnya. Lalu ia rekam seluruh monolog si wanita miring. Kemudian rekamanya ia edarkan ke seluruh jagat.

Terkenalah si wanita miring. Namanya harum lagi. Orang-orang yang ada di dalam monolognya dimeja hijaukan. Ia menjadi pahlawan keadilan. Namanya jadi ratu adil. Sekarang ia tinggal bahagia di sebuah pulau. Membangun koloni dan menjadikan pohon yang bukan aku menjadi perdana menteri. Rakyatnya terdiri dari orang-orang miring juga. Itu berkat monolognya yang mashur.

Aku akan menutup kisahku ini dengan suatu kejadian yang ringan-ringan saja, karena cerita tentang kekuasaan akan seru jika ditutup dengan kisah cinta.

Kemarin ada sepasang suami isteri muda. Si laki-laki bilang pada perempuan, bahwa ia sudah merasa tak cocok lagi. Si perempuan juga merasa seperti itu. Lalu si laki-laki menangis, ia bilang begini pada si perempuan.

“akhirnya kita  punya kesamaan ya? sama-sama tidak cocok lagi”

“betul mas, akhirnya kita punya kesamaan juga”

Lalu mereka berpelukan. Tertawa. Dan menari-nari ketika buah-buah randuku yang sudah matang memecahkan kulitnya serta mengelurkan kapas.

Kejadian-kejadian lainnya masih aku pilih untuk aku ceritakan.

Tangerang-Depok, Januari 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun