Ditengah keramaian vaksin palsu, tulisan ini dibuat, untuk menyikapi issue lain yang tertenggelamkan
Ya, masuknya tenaga imigran dari China (maaf gak bermaksud SARA, namun saya sampaikan apa adanya)
Mungkin tidak banyak yang tahu tentang kedatangan tenaga kerja imigran dari China ini. Atau mungkin tahu cuman sedikit karena memang kurangnya pemberitaan.
Ada yang menganggap bahwa kedatangan tenaga kerja imigran (mulai dari level managerial sampai tenaga kasar) adalah hal yang lumrah, namun ada yang menganggap sebagai "sesuatu".
Kawan, adalah wajar jika saya punya project, lalu saya menentukan siapa yang bekerja di project tsb.... benar nggak?
Adalah wajar jika saya punya lapangan kerja, saya memberikan prioritas kepada keluarga, teman dekat, sesama alumnus, tetangga, dst.
Jadi dari pandangan ini, adalah wajar jika mereka datang dengan membawa rombongannya mulai dari managerial sampai dengan tenaga kasar.
Tapi... apakah hanya kaca mata itu saja yang bisa kita gunakan untuk melihatnya?
Kalau anda adalah tuan rumah dimana saya adalah pemenang proyek pembangunan rumah anda tadi, apakah 100% benar bahwa hanya saya yang berhak memilih pekerja saya? Dan anda tidak memiliki hak sama sekali untuk memberikan batasan atau kriteria2 tertentu?
Atau lebih jauh apakah anda begitu mudahnya memberikan project tersebut kepada saya, sedangkan anda punya sanak family yang memiliki kemampuan yang sama dengan saya?
Coba kita renungkan sejenak ..............(satu titik = satu detik utk merenung :D)
Tidak tahukan kita bahwa negara ini tidak hadir/ada begitu saja. Bangsa ini bukan apel yang jatuh dari langit sekonyong2, mak bedunduk, gitu aja... BUKAN
Bangsa dan negara ini ada karena diadakan. Diadakan oleh nenek moyang kita dengan perjuangan. Perjuangan yang bukan hanya materi dan keringat, namun sampai tetes darah dan nanah.
Eyang buyut kita rela berpisah dengan sanak family dan orang-orang yang mereka cintai untuk berjuang demi kemerdekaan Bangsa ini. Iya untuk kemerdekaan tanah air nusa bangsa tercinta.
Namun apakah benar tujuannya hanya kemerdekaan? Oh... tentu tidak
Namun lebih dari itu, mereka rela bersimbah darah dan nanah untuk kita, anak cucunya. Agar kita tidak merasakan derita seperti derita yang mereka rasakan diwaktu penjajahan. Itu, bukan yang lain.
Kawan, coba sejenak bayangkan. Sakitnya kaki ini saat tertusuk duri. Nyerinya tangan ini saat tersayat belati. Tapi.... rasa sakit itu belum seberapa dibandingkan rasanya tertembus atau tertusuk bayonet.
Tapi... semua itu... kini tidak pernah kita hargai. Pengorbanan eyang buyut kita, kini kita lupakan. Cita-cita dan tujuan perjuangan mereka, kini kita nistakan. Dengan murahnya kita gadaikan itu semua. Dengan tanpa dosa kita khianati ibu pertiwi tercinta. Ibu pertiwi yang telah memberikan kita hidup. Ibu pertiwi yang memberikan kita makan di saat kita lapar. Ibu pertiwi yang memberikan kita minum ketika kita haus. Ibu pertiwi yang memberikan kita tempat berteduh ketika kita kehujanan.
Sungguh malu rasanya saya kepada eyang uyut yang dengan tulus menghadiahkan kemerdekaan ini untuk kehidupan kita yang lebih baik. Namun kita kini menghianatinya, menggerogotinya, dan merusaknya sedikit demi sedikit. Inikah jawaban kita saat mereka nanti menanyakan "apa yang telah kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan"?
Akhirnya, semoga ibu pertiwi tidak sakit hati dan masih mau berbaik hati untuk tetap mau kita tinggali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H