"Juara 1, untuk kelas 8C adalah... Mona!!" Suara lantang dari ibu Isna, wali kelas 8c dihari pembagian rapor kenaikan kelas 8 ke kelas 9.
Semua murid bertepuk tangan dan memberikan selamat pada seorang gadis cantik dengan senyum bahagia di wajahnya. Ini sudah kesekian kali namanya disebut dalam setiap pembagian rapor sejak kelas satu Sekolah Dasar (SD). Meskipun ini bukan hal yang baru baginya, namun ia tetap bangga dengan pencapaiannya.
"Ah, Mona lagi, Mona lagi, Mona teruuussss... Ibuuk Isna, aku kapan si dapet juara 1" Dari ujung ruangan Azkaria, teman sekelas Mona, menyeletuk dengan nada sedikit merengek.
Seisi kelas spontan tertawa, memang Azkaria dikenal sebagai anak yang lucu dan suka ngebanyol. Bahkan ia memiliki nama panggung atas komedinya itu, Ekeng, begitulah ia ingin teman-teman memanggilnya. Azkaria menjadi Ekeng, lucu kan? Hahaha
"Keng, Keng. Sana tukeran dulu otakmu sama Mona. Hahaha" Sahut Hana sambil menepuk punggung Ekeng.
"Nih Keng, sertifikat juaranya buat kau ni Keng. Eh tapi ada namaku. Mau di tip-ex gak?" Mona menimpali dan membuat seisi kelas menjadi semakin riuh akan tawa
Mona dikenal sebagai anak yang cantik, ceria, dan juga cerdas. Semua orang senang berteman dengannya. Ia juga sangat multitalenta. Ia pandai bernyanyi, mengaji juga bagus, aktif ekskul pramuka dan olahraga, serta jago bermain catur. Ia sudah tiga kali berturut-turut menyabet gelar juara 1 antar SMP se-Kabupaten. Ia suka bermain catur dengan siapa saja, bahkan ia pernah ditantang bermain catur dengan pelatih lawan saat kejuaraan. Ia memiliki banyak teman, dan tidak berkumpul dengan satu kelompok saja, ia berbaur kemana saja.
Mona juga dikenal sebagai anak yang sangat baik hati. Pernah suatu hari Mona memperhatikan teman sekelasnya yang mendapat ranking paling rendah menyendiri dikelas saat jam istirahat. Namanya Viona, anaknya manis namun pendiam dan memang jarang bicara. Mona menghampiri dan bertanya kepada Viona.
"Vio, kenapa kamu tidak istirahat?" Tanya Mona sembari duduk di sebelah Viona.
Awalnya Viona hanya menjawab tidak papa, tidak lapar, dan semacamnya, namun Mona terus mendesak dan mengajaknya berbicara. Hingga akhirnya Viona mau sedikit terbuka padanya.
"Sebenarnya aku sedang belajar untuk ulangan Matematika nanti, dari semester awal nilaiku tidak pernah diatas 50. Tapi aku masih tidak paham dengan materinya" Keluh Viona kepada Mona
"Hemm, kamu anak yang rajin Vio. Aku bahkan lupa hari ini ada ulangan matematika. Haha. Mana bagian yang tidak kamu fahami?" Tanya Mona dengan sedikit candaannya
Akhirnya Mona mengajari Viona materi ulangan matematika hari itu, Mona berpesan agar Viona jangan sungkan bertanya kepada dirinya kapan saja. Mona bahkan berterimakasih karena bisa sekalian belajar untuk ulangan yang terkadang dia sendiri juga lupa. Sebab, Mona yang hidup di asrama memiliki sangat banyak kegiatan. Setiap hari ia akan bangun jam 04:00 pagi dan baru menyelesaikan seluruh kegiatan sekitar jam 09:00 malam.
Keesokan harinya Mona pergi ke sekolah seperti biasa, ia menyapa setiap orang yang ditemuinya dan tertawa dengan teman-temannya. Namun tiba-tiba ia merasa ada yang aneh dengan matanya. Penglihatannya seketika blur dan seperti berbayang-bayang. Ini cukup menganggu proses belajarnya. Bahkan di beberapa hari selanjutnya ia tidak mampu melihat tulisan yang ada di papan tulis dengan jelas. Maka setelah jam pelajaran selesai, ia akan meminjam buku Uci, teman sebangkunya, untuk menyalin ulang materi yang disampaikan oleh ibu dan bapak guru. Semula ia mengira itu hanyalah gangguan sementara karena kurang istirahat atau kurang tidur, Namun keadaan itu terus berlanjut hingga satu semester di kelas 9 berlalu. Dengan segala kesulitan belajar yang ia hadapi, Mona masih berhasil mempertahankan gelar juara satunya. Mona memang tidak pernah menceritakan permasalahan yang menimpa dirinya kepada orang lain termasuk kepada orangtuanya, namun setelah pembagian rapor semester diumumkan, Mona merasa tidak bisa bertahan dengan penglihatannya yang kian memudar. Akhirnya Mona menceritakan keluhan tersebut kepada ayahnya saat penjemputan asrama dalam rangka liburan semester pertama.
"Sejak kapan kamu sakit Mona?!" ayahnya terbelalak tak percaya dengan apa yang baru diceritakan anaknya itu
"Udah lama sih, yah. Tapi gak papa kok, kayanya kelilipan debu deh" jawab Mona justru takut kalau ayahnya marah, maklum ini kali pertama ia menceritakan permasalahan kepada ayahnya itu.
"Besok kita periksa ke kota ya" jawab ayah Mona cepat.
Singkat cerita, ayah, ibu, dan Mona berangkat ke kota keesokan harinya. Jarak tempuh dari rumah ke kota sekitar tiga jam perjalanan. Sepanjang jalan Mona hanya terdiam tidak tahu harus berkata apa kepada kedua orangtuanya itu.
Sesampainya di rumah sakit dokter mengajak Mona untuk menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan dasar. Rumah sakit yang dikunjungi Mona tergolong sebagai rumah sakit terbaik di kota saat itu, namun hasil yang diterima Mona dan keluarganya tidak cukup memuaskan. Tidak banyak yang dapat dilakukan dokter, dan tidak banyak informasi yang dapat dicerna Mona dan keluarganya. Sang dokter menyatakan bahwa mata kanan Mona telah mencapai minus 7 dengan silinder 1. Angka yang sangat tinggi untuk anak seusianya dengan tempo yang sangat singkat sekitar 6 bulan sejak keluhan pertamanya. Dokter harus memberikan resep kacamata dan beberapa jenis obat kepada Mona yang langsung ditebus ayah mona saat itu juga. Seluruh resepnya cukup mahal bagi Mona, sekitar tujuh hingga sembilan juta rupiah, termasuk frame kacamata, lensa, biaya konsultasi, dan obat-obatan lainnya.
Namun tidak sesederhana itu. Bagaimana dengan mata kirinya? Dokter justru memberikan rekomendasi untuk membawa Mona ke rumah sakit lain. Rumah sakit terbaik khusus mata di Indonesia katanya, RS Mata Kita di Bandung, informasi yang beredar bahwa rumah sakit tersebut adalah pusat mata nasional yang telah beroperasi puluhan tahun dan melegenda dengan dokter-dokter spesialis yang ahli di bidangnya. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan mata Mona, namun mungkin Bandung adalah solusi masalah penglihatannya.
Mengira akan liburan ke Bandung, Mona senang bukan kepalang. Sementara ayah dan ibunya harus mencari dana tambahan untuk biaya pengobatannya ke pulau seberang itu. Segala macam cara dilakukan untuk mengobati anak perempuannya. Termasuk mencari informasi tentang dokter terbaik yang mungkin bisa ditemui disana. Informasi penginapan, informasi tiket penerbangan dan estimasi keberangkatan hingga kepulangan. Bahkan ayah Mona telah mengajukan libur sekolah tambahan untuk Mona.
Singkat cerita perjalanan pengobatan mata Mona di Bandung pun dimulai.
Setelah beberapa rangkaian dasar, Mona dirujuk untuk mengikuti tes lanjutan yang lebih spesifik. Pada tahap ini ia diarahkan untuk memasuki ruangan yang besar, dingin, dan minim cahaya. Ditengah ruangan terdapat alat besar entah apa namanya, bisa saja alat yang disebut NCT, Foto Fundus, OCT, atau HFA. Mona tidak tau pasti, yang jelas adalah fakta selanjutnya yang akan ia terima.
Mona didiagnosis positif toksoplasmosis, tidak hanya mata kirinya, namun juga mata kanannya. Seperti toksoplasmosis pada umumnya, penyakit Mona terjadi karena infeksi parasit Toxoplasma gondii. Umumnya infeksi tersebut ditularkan oleh ibu hamil ke bayi mereka (kongenital atau bawaan) atau melalui makanan yang terkontaminasi atau daging setengah matang. Yang berbahaya dari parasit ini adalah orang yang terinfeksi tidak memiliki tanda-tanda yang mudah di identifikasi, mereka tidak akan tahu bahwa dirinya sedang terjangkit parasit ini. Parahnya toksoplasmosis dapat menyebabkan masalah serius bagi yang memiliki kekebalan tubuh lemah, apalagi infeksi pada retina dan koroid mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan sementara hingga kebutaan permanen.
Yang terjadi pada Mona adalah saat parasit toksoplasma tersebut menggerogoti retinanya, saat itulah penglihatannya mulai kabur. Namun Mona mengabaikan hal tersebut karna memang ia merasa tidak sakit apapun. Hingga detik diagnosis itu dibacakan sang dokter, ternyata parasit yang mengobrak-abrik matanya sudah hilang musnah karena sistem kekebalan tubuh Mona sendiri yang mengusirnya. Yang tersisa adalah lesi atau bekas luka yang tidak ada obatnya. Lesi tersebut menutup pintu masuknya cahaya ke retina di mata kiri Mona, jika digambarkan maka setiap penglihatan Mona akan hilang dibagian tengahnya. Seperti ada lingkaran besar berwarna hitam yang menutup ruang melihatnya. Sedangkan matanya harus mendapatkan cahaya sehingga mengakibatkan perubahan posisi normal mata. Atau yang disebut juling. Ya, Mona menjadi juling. Tidak bisa melihat dengan benar dan simetris lagi. Bisa dikatakan mata kiri Mona tidak bisa digunakan secara maksimal lagi, bahkan untuk mengecek minus atau tidak saja data mata Mona sudah tidak terbaca lagi. Hanya pada mata kanan kini ia bergantung.
Beruntung lesi di mata kanannya tidak terlalu mengganggu retinanya, padahal jika dilihat dari hasil rontgennya, letak lesi tersebut nyaris mengenai retinanya juga. Jika hal itu terjadi, maka Mona tidak akan memiliki kesempatan untuk melihat dunia lagi. Satu-satunya yang bisa ia andalkan adalah mata kanan yang sudah minus 7 itu. Jika ia tidak bisa menjaga matanya lagi kali ini, maka tidak tahu apa yang terjadi. Mendengar hal tersebut, hati siapa yang tidak terpukul?
"Dok, tolonglah dibantu gimana ini supaya anak saya bisa sembuh seperti dulu lagi. Tolonglah dok.." pinta ayah Mona diruangan dokter yang mungkin suaranya bisa menggema hingga ke ruangan lain.
"Memang tidak ada pak, ini sudah lesi, sudah bekas luka, tidak ada lagi obatnya" jelas sang dokter sekali lagi
Ayah Mona tertunduk lesu sementara sang ibu sudah berkaca-kaca. Apapun yang dikatakan ayah, ibu, bahkan dokter tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Namun ayah dan ibu Mona tidak menyerah. Keesokan harinya mereka pergi ke sebuah rumah praktik dokter spesialis mata yang katanya legenda dalam hal ini. Ke rumah seorang laki-laki tua yang menyambut dengan baju batik berwarna coklat dan celana hitam bergaya tahun 80an. Rumahnya asri hijau dengan wangi pepohonan seperti setting rumah Milea dalam film Dilan 1990. Hasilnya? Nihil. Sang legenda spesialis mata tersebut juga mengatakan bahwa tidak ada obat untuk menyembuhkan mata Mona.
Mona sekeluarga pulang dengan tangan kosong dari kota yang terkenal dengan julukan lautan api itu membawa fakta-fakta yang tidak akan ia lupakan sepanjang hidupnya.
Fakta pertama, jawaban dari seluruh keluhan matanya adalah akibat parasit yang kini ia beri nama toxoplasma sialan gondii. Ia akan mengingat nama parasit ini selamanya.
Fakta kedua, ia akan juling dan harus memakai kacamata kemana-mana. 15 tahun hidup secara normal dengan mata yang normal harus berubah menjadi kebalikannya.
Fakta ketiga, tidak ada obat untuk penyakitnya. Tidak ada harapan kembali seperti semula. Terima fakta ini selamanya. Se. La. Ma. Nya.
"Apakah aku termasuk disabilitas? Atau menjadi anak dengan kebutuhan khusus? Atau menjadi anak dengan kelainan?" decak sesal Mona sesekali ingin menyalahkan keadaan.
Sekembalinya ia ke asrama, seluruh teman-temannya menyambut Mona dengan hangat dan riang gembira. Padahal Mona mengira akan menerima cacian atau ejekan karna bentuk matanya yang tidak lagi sempurna. Mereka justru memeluk Mona seolah tak pernah melihatnya selama 1000 tahun, padahal Mona hanya telat dua hari dari tanggal masuk ke asrama.
Di sekolah ia juga mendapat banyak support dari guru-guru dan teman sekelas. Seolah kepergiannya ke Bandung adalah trip yang besar dan harus diberitahukan ke penjuru sekolah. Semua orang menanyakan kabar dan hasil yang diperoleh dari pengobatan itu
"Mona, katanya kamu di operasi ya ke Bandung?" Ekeng menyeletuk ketika semua teman-teman berkumpul di meja Mona
"Ha ha enggaklah, operasi apaan" jawab mona dengan tawa, entah darimana Ekeng mengira dia akan operasi ke Bandung.
"Sekarang udah bisa lihat belum Mon?" timpal Uci teman sebangku Mona
"Woii aku cuma Minus, bukan buta woi. Nih udah pake kacamata, udah bisa lihat muka kau yang tengil itu" jawab Mona menjawab pertanyaan Uci yang lebih ngawur daripada Ekeng
"Terus itu mata kau kok jadi juling?" lanjut Uci dengan nada bercanda
Sejenak pertanyaan itu membuat Mona terdiam, bercandaan temannya kali entah mengapa menyakiti hatinya. Dan entah bagaimana harus menjelaskan parasit Toxoplasma sialan gondii ini kepada teman-temannya yang bawel itu.
"Biar keren lah ahahaha. Udah ah, sana balik ke kursi masing-masing, tuh bu Isna dah masuk tuh" jawab Mona sembari mendorong teman-temannya untuk bubar dari mejanya.
Mona kemudian hendak mengambil tisu didalam laci meja, khawatir kalau air matanya yang sudah di ujung mata itu akan terlihat oleh teman sebangkunya. Ia ingin segera menyekanya. Namun ia menemukan bingkisan yang dibalut dengan kertas kado berwarna biru. Mona segera membukanya dan mendapati sebuah syal biru muda dengan sepucuk surat yang ia tahu betul siapa penulisnya.
Selamat datang kembali Mona, semoga suka. Maaf aku hanya bisa memberi ini. Semoga kebaikan selalu menyertaimu seperti biasanya. Bahagia selalu!
-Viona
Merasa sangat beruntung membaca surat tersebut, seketika air mata Mona terhenti. Ia memandang Viona dan mengangkat jempolnya. Bibirnya mengisyaratkan kalimat terimakasih yang disambut senyum dan anggukan Viona dari meja seberang. Dibalik punggung Viona terdapat jendela kelas yang kacanya bisa memantulkan bayangan Mona. Ia melihat wajahnya, ia melihat matanya. Mata kanan gadis itu memang menatap lurus kembali ke arahnya, namun mata kiri bayangan tersebut entah kemana arahnya. Ia melihat gadis didalam bayangan kaca itu cukup lama, menyadari bahwa penampilannya sangat berbeda dengan yang ia lihat beberapa waktu lalu.
"Bodo amat menjadi jelek. Yang penting aku masih hidup" tepisnya didalam hati
Sejenak Mona merasa bisa bangkit dari kejadian kemarin berkat teman-teman dan orang sekitar yang mendukungnya. Ia mengumpulkan segenap kekuatan untuk membangun dirinya menjadi lebih baik. Mengumpulkan keberanian untuk bisa menerima kekurangan dalam dirinya. Tapi, bagaimana ia akan merelakan dirinya dengan tekanan seperti itu selama sisa hidupnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H