Pada 17 Agustus 1965 saya saksikan pidato Sukarno dan ini tidak akan bisa saya lupakan. Saya pun angkat topi, bagaimana mungkin seseorang bisa tarik hati ribuan orang untuk pidato sekitar 3 sampai 4 jam dan orang pun tidak pulang.
Setelah itu, saya ke Surabaya naik kereta api dan tanggal 8 september 1965 berangkat dengan kapal menuju Flores. Dengan menempuh perjalanan samapi 3 hari untuk sampai ke Maumere.
Setelah sampai kami menuju ke Ende dengan menggunakan mobil jeep dengan kondisi jalan yang begitu buruk. Pada tanggal 12 September 1965 kami mulai belajar bahasa Indonesia dalam sebulan 1 kali saja selama 3 bulan.
Waktu itu orang tua saya tidak pernah mendapatkan surat selama 6 bulan. Tidak ada berita tentang nasib saya di pulau Flores.
Saya dipindah tugaskan selama 2 tahun di Ruteng dan kembali pindah tugas menuju Mataloko. Waktu awal saya ikut misa di Mataloko, saya pikir orang misa untuk para arwah karena mereka pakai kain warna hitam semua.
Saya sendiri merasakan gembira orang kita di Ngada  karena kerohanian yang kuat. Selain itu, saya juga sangat senang dengan keterbukaan orang kita disini dan tidak cepat tersinggung.
Memang semasa hidup saya, saya belajar banyak dari desa dan statis terlebih khusus di Were.
Di Were saya mulai dimasukan budaya orang Ngada dalam perayaan misa. Disini sudah biasa sekarang, tapi butuh perjuangan yang besar.
Pater Kurt SVD terkenal karena jasanya membesarkan Kemah Tabor Mataloko menjadi wisata rohani paling populer di kalangan umat Katolik di tanah Flores.
Kemah Tabor Mataloko menjadi rumah retret bagi sejumlah sekolah menengah dan komunitas Katolik di beberapa kabupaten di Pulau Flores. Alamnya yang sejuk dan dingin, dengan rerumputan hijau permai, memberikan sensasi rohani yang istimewa di benak peziarah dari manapun mereka berasal.
Selain itu, Jasa besarnya dilimpahkan kepada Umat Were sejak tahun 1965. Dari Pater Kurt Bard Franz, SVD mengajarkan untuk saling berbagi tanpa membeda-bedakan satu sama yang lain. Menebarkan kebaikan untuk saling membantu yang kekurangan.