Mohon tunggu...
Siti Savana
Siti Savana Mohon Tunggu... -

Belajar tidak peduli...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cahaya Cinta

8 Maret 2011   07:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:58 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku lebih suka memilih menjadi pemarah. Lebih bertingkah dengan memamerkan bunga bakung putih sederhanaku kepadamu, serta air akar alang alang manis yang mampu mengobati jiwaku dengan hak istimewaku di hatimu.''Masihkan engkau menggunakan pidato menyedihkan itu untuk membunuhku?'': bukan masalahku dan itu masalahmu' dan masih sama seperti dulu seperti yang suka aku lakukan pada wajahmu, memandang dengan tulus kepadamu dan aku tahu kau suka mataku, hidung bangirku, alisku bibirku, bahkan sampai ingin mengetahui kesehatan sexualku seluruhnya. Libido yang sempurna dan luar biasa. Sangat mengagumkan. Apakah engkau sadar sepasang mata indah selalu memandang bayangmu di balik rinai hujan yang melukis rindu di tiap titiknya?!!

Saat ini sinar mentari menerobos dedaunan menimpa wajahku, menghasilkan mozaik cahaya yang miring dan menyimpang di tubuhku. Aroma sawo matang jatuh dan pecah ke tanah tajam dan menari di mulutku, pucuk pucuk pohon pinus melambai lembut mencakar langit biru cerah di atasnya. LANGIT! Kembali langit tersenyum kepadaku, menghibur batinku, mengelus samudera jiwaku, angin berhembus mengerak gerakkan rambutku yang mulai memanjang di bawah terik matahari yang berkilauan sambil mendengar suara kenderaan yang lalu lalang dan ditingkahi suara sufi bising kanak kanak. Kembali aku memohon maaf dan berdoa memulihkan jiwaku. Aku terlalu lelah berdamai dengan hatiku, meski 'cahaya' itu tidak pernah alpa datang memberi 'kekuatan cinta' kepadaku setiap harinya. Aku berdoa untukmu. Selalu dan selalu. Aku tertawa renyah karenanya. Manis. Kembali mensyukuri nikmat pilu indah itu. Ya, seindah bayang cinta fajar kepada bumi di kemilau pagi berselimut embun yang kuhirup menjadi manna jiwaku.

Thank You God. Kata-kataMu tidak pernah menghianatiku. Engkau memberikan 'Nur' itu di kedua mataku serta selalu mampu bijaksanakan mata hati jiwa penuh maaf yang menatap lembut tak berkedip kepada jari jari yang teracung dan menuduh bersalah kepada bunga mungilMu di sela sulur sulur anggur ditimpa bayang  kuntum kuntum bunga pepohonan berhimpit alang alang berakar manis yang pernah disodorkan untuk kugigit dan kuhisap sambil tertawa. Dulu, dulu sekali. Kembali aku tersenyum memandang langit biru cerah di atasku.

08.03.2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun