Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

Bukan Sekadar Memenangkan Putaran Kedua Pemilihan Gubernur DKI Jakarta

25 Februari 2017   14:09 Diperbarui: 25 Februari 2017   14:26 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh
 Saut Maruli Siregar

Pada hari Rabu, 19 April 2017, Pukul 07.00-13.00 (WIB), warga DKI Jakarta yang berhak memilih dan dipilih akan kembali melakukan pemungutan surara di TPS-TPS untuk Putaran Kedua Pemilihan Gubernur (PILGUB) DKI Jakarta.

Mari kita berpikir cerdas, bukan emosional dan bukan sentimen keagamaan untuk bersama-sama datang ke TPS-TPS untuk kembali mencoblos tanda gambar Cagup dan Cawagup yang sesuai dengan hati nurani. Kita bukan memilih pemimpin agama seperti di Iran, tetapi memilih pelayan masyarakat yang mampu memenuhi beragam kebutuhan masyarakat luas, termasuk kepentingan umat Islam.

Demokrasi terikat kaidah nalar, hati nurani, sopan santu berbahasa, menerima dan memberi. Kebebasan berarti tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sebab, “kebebasan mutlak, dogmatik dan eksklusif dapat menimbulkan anarki”, kata David E. Apter dalam buku An Introduction To Political Analysis. Demokrasi tumbuh dan berkembang pada orang yang tinggi adabnya.

Hak orang (one’s right) adalah kewajiban orang lain untuk menghormatinya. Sebagaimana ditunjukkan sebagian besar masyarakat pemilih di DKI jakarta yang tidak terpengaruh pada. politik primordial. Seperti sentimen keagamaan sudah tidak laku dijual pada pilgub DKI Jakarta. Terbukti, perolehan surara 43 % untuk Basuki-Jarot pada pilgub DKI Jakarta pada hari Rabu, 15 Februari 2017 merupakan bukti legimasi politik bahwa CAGUB, BASUKI, adalah pilihan utama oleh rakyat DKI Jakarta.

Jika dihubungkan dengan partai-partai kristen di Eropa hanyalah berupa label belaka,, sama sekali tak ada hubungannya dengan akidah agama Kristen, atau Al Kitab. Politisi-politisi di sana tak mencampuraduk Agama (sakral) dengan politik (Profane).. Mereka beda dengan partai-partai agama di negara kita, padahal kementerian agama sudah ada untuk mengurusi kepentingan umat Islam. 

Demokrasi kita juga kebablasan, karena nilai-nilai dan norma kebudayaan tak mampu mengatur tata tertib masyarakat. Kebudayaan (way of life) kurang mendukung bekerjanya sistem politik, hukum, ekonomi, lingkungan hidup dan bensinnya motor keadilan. Tanpa dukungan kebudayaan, penegakan hukum dan keadilan, akan selalu sia-sia. Himpunan hukum hanyalah peraturan-peraturan yang tiada artinya, sebab keadilan dan hukum tak mungkin berdiri sendiri tanpa dukungan kebudayaan.

Kondisi ini diperparah, semakin banyaknya para politikus primordial dengan membawa sentimen keagamaan yang berjubah partai nasional . Keberadaan politisi primordial yang berjubah partai nasional sangat menyakitkan masyarakat pemilih yang anti primordialisme sehingga mereka cenderung tak bakal memilih kembali para politikus busuk itu pada pemilu 2019 mendatang.

Cuitan Menteri Agama Lukman Hakim di Twitter lewat akunnya mengatakan “memilih gubernur berdasarkan keyakinan agama tidaklah melanggar konstitusi”. Itu benar, namun tak pantas diucapkan oleh seorang menteri dalam ranah publik, lebih tepat diucapkan dalam ranah privat. Politik primordial dalam bentuk apapun menghambat pemilu yang rasional dan cerdas serta mempertajam polarisasi pilihan politik rakyat dan menguatkan fanatisme agama. ”Jarak antara fanatisme ke perbuatan kebiadaban brutal (barbarism) hanya tinggal selangkah” kata Denis Dederot/filsuf Perancis.

Fanatisme dalam bentuk apapun tak kondusif pada sistem politik Pancasila. Sebab, untuk menciptakan sistem politik Pancasila (keindonesiaan) , semua sistem hukum, kebudayaan dan sosial ekonomi berpancasila pula. Dengan model matematiknya, berbentuk Y= F(X). Artinya, mewujudkan Y sediakanlah X. Jika tidak, terjadi prinsip bertentangan, sebagaimana kita rasakan selama ini.

DKI Jakarta sebagai ibukota negara RI tidak hanya milik warga DKI Jakarta , tetapi juga milik rakyat Indonesia, dan dunia internasional.. Maka, DKI Jakarta harus dibangan berstandard internasional pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun