Entah mengapa menjelang perhelatan pemilihan kepala daerah baik itu gubernur, bupati dan walikota, isu yang selalu terdengar adalah adanya praktik pemberian "mahar politik". Dimana seorang calon memberikan imbalan atau pembayaran kepada partai politik agar mendukung pencalonan dirinya. Selain mahar ada juga yang menyebutnya "uang perahu".
Dulu yang saya tahu istilah "mahar"(bah.arab) dikenal dalam proses perkawinan atau biasa disebut maskawin yaitu pemberian berupa mas, uang, dsb dari mempelai laki-laki kepada pengantin perempuan pada waktu nikah. Mahar sendiri merupakan jalan yang menjadikan isteri berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya. Jadi istilah mahar ini ternyata berlaku dalam praktik politik. Ya gak jauh bedalah dengan "sinamot" dalam tradisi batak.
BENARKAH ADA PRAKTIK MAHAR POLITIK DI PILKADA SERENTAK 2015?
Setidaknya ada pengakuan beberapa orang yang batal menjadi calon kepala daerah karena terbentur kerasnya tembok "mahar politik".
- Kabel Saragih memilih mundur dari pencalonan bupati Simalungun karena diminta untuk membayar uang "mahar" sebesar Rp 500 juta untuk satu kursi dukungan.
- Asmadi Lubis yang mengaku dimintai mahar sebesar 2,5 miliar dalam pencalonannya sebagai Bupati Toba Samosir.
- Sebastian Salang harus mengubur impiannya untuk maju menjadi calon Bupati Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, lantaran diwajibkan membayar uang "mahar" untuk memenuhi persyaratan pencalonan.
Dalam pilkada 2015 hanya tiga orang di atas yang secara terang-terangan mengaku dimintai mahar oleh partai politik, namun dapat dipastikan bahwa masih banyak lagi yang menghadapi hal serupa namun memilih untuk tidak bersuara. Dan melihat fenomena mahar politik ini, Partai Golkar Kubu Aburizal juga mengakuinya. Klik dan lihat di sini
Sekedar mengingatkan kembali, mari kilas balik di tahun 2013 dalam persidangan kasus korupsi impor daging dengan terdakwa Ahmad Fathonah, mantan calon gubernur Sulsel Ilham Arief dalam kesaksiannya mengakui pernah dimintai diminta uang Rp 10 miliar sebagai "mahar" agar mendapat dukungan PKS untuk pencalonannya di Pilgub Sulawesi Selatan. Artinya praktik politik transaksional ini sudah ada sejak pilkada langsung diberlakukan.
 APAKAH PRAKTIK MAHAR POLITIK INI DIBOLEHKAN?
Ada yang beralasan bahwa hal tersebut adalah wajar jika seseorang yang ingin maju sebagai calon harus mengeluarkan ongkos politik. Ada juga yang mengatakan bahwa mahar itu adalah bagian dari biaya kampanye. Dan ada yang mengatakan, Yang bener aja bro, masa sih mau nyalon gak punya duit?
Dan banyak lagi alasan lainnya yang pada dasarkan merupakan alasan pembenaran. Memberi alasan adalah hak mereka, namun perlu memperhatikan aturan-aturan yang sudah ada.
Dalam UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, memang tidak secara implisit disebut istilah mahar, namun mari kita lihat relevansinya di pasal 47 :
Ayat (1): Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.