*PERANG SINDIRAN DALAM PUISI*
Keretakan hubungan PDIP dan Gerindra sebenarnya sudah terbaca ketika pasca Pilkada DKI Jakarta 2012, dimana Jokowi-Ahok memenangkan pilkada. Ternyata saat dilakukan survey untuk pilkada DKI saat itu bersamaan juga dilakukan survey pilpres, dan hasilnya lebih menguntungkan pihak Prabowo dibanding Megawati. Hal ini bisa dilihat dari hasil survey SMRC yang memilih Prabowo sebesar 25% sedangkan Mega hanya memperoleh 15%. Lalu muncullah istilah "penumpang gelap" di pilkada oleh Megawati.
Setahun lebih berselang,
Megawati Soekarnoputri mengumumkan penunjukan Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP, Prabowo Subianto dan Gerindra langsung bereaksi dengan memberikan komentar miring kepada PDIP dan Jokowi. Pada saat kampanye Gerindra di Lapangan Gelora Bung Karno, Prabowo menyindir capres lain sebagai capres boneka dalam pidatonya. Walau tidak menyebutkan secara jelas capres mana yang dimaksud, banyak pengamat politik menyatakan bahwa sindiran tersebut ditujukan kepada Jokowi dan PDIP. Lalu disusul lagi dengan sindiran dalam bentuk puisi "Asal santun", lalu disusul puisi berjudul "Sajak Seekor Ikan dan Air Mata Buaya' karya Fadli Zon yang banyak menafsirkan puisi tersebut juga sindiran kepada PDIP dan Jokowi.
Gayung bersambut, sajak-sajak yang dibacakan oleh kedua tokoh Gerindra itu, direspons elite dari PDI Perjuangan, Fahmi Habsyi. Fahmi menjawab sindiran tadi dengan sajak pula. Isinya lebih santun namun menohok. Judul puisinya ‘Pemimpin Tanpa Kuda’.
Bukan hanya petinggi partai tersebut yang melakukan perang sindiran, di jejaring sosial, pendukung kedua pihak tersebut juga melakukan hal yang sama. Lucunya, di dunia maya ketegangan melebihi para tokoh tadi. Perang kata-kata berisikan kritik dan argumen bahkan tak jarang berujung saling ejek antar simpatisan.
Di lain pihak, tentu situasi ini akan menguntungkan partai-partai lain yang sejak kemarin duduk manis di bangku baris paling depan sebagai penonton seraya bertepuk tangan menyaksikan perang sindiran antara PDIP vs Gerindra.
*NOSTALGIA KEMESRAAN MASA LALU*
Lupakan dulu perang sindiranya! Mari bernostalgia!
A. Pemilu 2009
Pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2009 adalah momentum awal kemesraan antara Mega dan Prabowo. Keduanya tanpa malu-malu sepakat untuk maju menjadi pasangan capres dan cawapres 2009-2014 dan mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum. Berbagai komitmen dan kontrak politik ditandatangani bersama tanpa ada kendala. Mega saat itu memuji penampilan Prabowo sangat bagus. Demikian sebaliknya, di kesempatan lain, Prabowo memuji Mega. Sungguh mesra kala itu.
Walaupun kita tahu hasil pilpres 2009 mereka berdua mengakui kekalahan dengan lapang dada.
B. Pilkada DKI Jakarta 2012
Hubungan PDIP dan Gerindra semakin kuat dan mesra. Keduanya mengusung pasangan Jokowi dan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta 2012. Saat itu mereka juga kompak mengkritisi kebijakan pemerintahan pusat. Dan berhasil memenangkan Pilkada DKI dalam dua putaran saja mengalahkan gubernur petahana yang diusung oleh Partai Demokrat dan kawan-kawan. Setelah Jokowi-Ahok memimpin DKI, Prabowo dan Mega tak jarang membela kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Gubernur dari kritik lawan politiknya. Dan tak disangka hubungan mesra itu tak berlangsung lama.
[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="https://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/04/13963941051883500645.jpg"][/caption]
Koalisi PDIP-GERINDRA Pasca PILEG Menuju PILPRES 09 JULI 2014
*INGAT! PILEG SUDAH DI DEPAN MATA"
Hari pemilihan umum legislatif tinggal beberapa hari lagi, dan sudah memasuki minggu tenang. Sesuai aturan tidak ada lagi bentuk kampanye di ruang terbuka. Saatnya setiap partai beristirahat sejenak dari hiruk-pikuk kampanye. Demikian juga halnya PDIP dan Gerindra harus memanfaatkan minggu tenang ini dan fokus untuk pemenangan pileg tanggal 09 April nanti. Tak perlu gegabah untuk melakukan hal-hal yang justru membuat masyarakat menjadi antipati dan bisa berujung mengalihkan pilihannya di bilik suara. Masing-masing harus bisa menahan diri.
"BERHARAP PDIP-GERINDRA KOALISI LAGI"
Bukannya bermaksud mendahului hasil pemungutan suara pemilu legislatif nanti. Ini hanya sebuah kemungkinan. Seandainya hasil perolehan suara PDIP dan Gerindra tidak memenuhi quota untuk dapat mengajukan pasangan presiden dan wakil presiden di pemilihan umum presiden Juli 2014,  atau katakanlah hanya salah satu saja yang memenuhi syarat.  Penulis berharap PDIP dan Gerindra harus berani  membuka diri satu sama lain, mulai berdialog dan memutuskan koalisi. Jika PDIP memiliki suara lebih besar dan memenuhi syarat. Maka PDIP harus mencari calon wapres mendampingi Jokowi atau sebaliknya.  Seharusnya Prabowo dan Gerindra bisa membaca kemungkinan situasi seperti ini. Tentu saja akan ada kontrak politik yang baru. Bahkan siapa yang menjadi capres dan cawapres bisa dibicarakan. Katakanlah PDIP ngotot mengajukan Jokowi sebagai Presiden, tidak ada salahnya Prabowo menerima tawaran cawapres. Mengapa? Karena Gerindra dan Prabowo harus melihat kenyataan dan bersikap lebih realistis. Jika Gerindra memaksakan diri untuk menjalin dengan koalisi dengan partai lain agar bisa maju sebagai capres akan sulit mengalahkan capres Jokowi dan pasangannya di pemilu pilpres. Apalagi peserta pilpres bisa melebihi 3 pasangan, artinya jumlah suarapun akan terbagi-bagi.
Pertimbangan-pertimbangan mengapa PDIP dan Gerindra harus koalisi adalah:
1. Kesamaan ideologi partai
2. Kesamaan visi dan misi
3. Tak ada salahnya mengingat saat-saat masa dan isi kontrak politik di masa lalu.
4. Kembali kepada cita-cita awal untuk memajukan negeri ini
5. Bersama-sama megambil alih kekuasaan dari pemerintahan lama yang dibentuk koalisi multipartai.
6. Cukup hanya 10 tahun sbg oposisi, jangan sia-siakan kesempatan tahun ini.
Tak usah malu-malu untuk koalisi. Dalam politik sering kita dengar istilah "tiada teman atau musuh abadi, yang ada hanya kepentingan". Dan itu berlaku juga bagi partai-partai lain di pemerintahan yang lalu dan di pilpres nanti.
Jangan biarkan pihak lain tertawa terlalu lama.
Jangan sampai "Indonesia Hebat" dan "Gerakan Indonesia Raya" hanya sekedar angin lalu dan dilupakan begitu saja oleh rakyat Indonesia.
Harapan Jokowi-Prabowo atau Prabowo-Jokowi sebagai pasangan capres/cawapres 2014-2019 akankah terwujud?
Artikel lain :
Mencoba Memahami Kekecewaan Prabowo
Salam hormat,
Parjalpis,
Siantarcity
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H