Yah, bukankah dalam hidup keKristenan kita terlalu sering kita memandang status sosial dan gengsi antar sesama. Kita seringkali pandai berkata “Haleluya” dalam gedung gereja tetapi hati kita masih melihat sesama berdasarkan status sosial dan gengsi. Bahkan tidak sedikit juga para Pendeta atau hamba Tuhan yang melayani jemaatnya masih memandang muka. Ironisnya ada juga Pendeta atau hamba Tuhan yang sulit sekali untuk ditemui oleh jemaat dengan alasan birokrasi dikarenakan jemaat yang mau menemuinya adalah seorang tukang sampah, atau seorang pemulung. Berapa banyak gereja yang masih memandang sinis ketika ada seorang pelacur datang ke gereja atau seorang yang memiliki tatto ditubuhnya, dll? Saya yakin banyak gereja yang masih memandang muka yang terikat oleh status sosial dan gengsi di dalam pelayanannya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah pantas kita menyebut diri kita pengikut Kristus? Apakah pantas menyebut diri kita hamba Tuhan atau Pendeta jika kita makan enak-enak, punya mobil, rumah mewah, dll dari uang perpuluhan jemaat yang diperoleh dari bekerja banting tulang setiap harinya dan harus menghemat kebutuhan hidupnya demi membayar perpuluhan ke gereja?
Yesus memberikan sebuah teladan gaya hidup yang sangat amat jelas, IA tidak terikat harta milik dan benda serta tidak terikat oleh status sosial dan gengsi.
Ikutilah teladannya dan mari kita sama-sama belajar untuk menjadi seperti Kristus. “To be Like CHRIST is POSSIBLE’. Hidupilah hidup Yesus dan Roh Kudus akan mendampingi kita jika kita mau berusaha keras hidup seperti IA hidup. Sola Gracia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI