Saya sering mendengar khotbah dari mimbar-mimbar Gereja, bahwa sebagai orang Kristen kita harus "to be like Christ." Ketika kalimat ini dikumandangkan oleh banyak Pendeta atau hamba Tuhan, jemaat dengan spontan dan bersemangat mengatakan "AMIINN"..!!!Namun bagi saya pribadi, pernyataan "to be like Christ" sangat amat menggangu jiwa saya dan membuat gelisah diri saya bahkan sejujurnya, iman saya tergugat oleh pernyataan "to be like Christ". Kegelisahan saya adalah ketika jemaat berkata : "AMIN" terhadap pernyataan bahwa sebagai orang Kristen, kita harus "to be like Christ" namun mereka tidak memahami seperti apa "to be like Christ" itu. Ironis, ya sungguh ironis. Jemaat mengaminkan sesuatu tanpa memahami apa yang dimaksud dengan "to be like Christ" itu. Lebih ironis lagi adalah Pendeta atau hamba Tuhan yang menyampaikan pernyaataan itu tidak memberikan sebuah penjelasan yang "terang" mengenai "to be like Christ" itu seperti apa..??!!
Ketika hal ini digugat, maka jawaban yang sering kita dengarkan adalah "beriman" saja, atau "ikut Tuhan itu jangan terlalu banyak pakai logika" atau "Aminkan saja, nanti kamu juga akan mengerti." Jawaban yang bagi saya tidak memberikan sebuah solusi atas "permasalahan" yang mereka (Pendeta atau hamba Tuhan) "buat" sendiri.
Dalam "kegelisahan" nurani saya terhadap pernyataan bahwa sebagai orang Kristen kita harus "to be like Christ", saya mencoba menemukan jawabannya di dalam Alkitab, khususnya kitab-kitab Injil (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes) di tambah dengan tulisan rasul Paulus. Bagi saya untuk menjadi orang Kristen yang "to be like Christ" maka kita harus melihat hidup Yesus yang tercatat di dalam Injil dan tulisan Rasul Paulus (Kitab-kitab yang lain seperti PL dan beberapa kitab lainnya di PB juga penting, namun untuk memahami hidup Kristus, maka Injil dan tulisan rasul Paulus menjadi prioritas di dalam menyelidiki Pribadi Yesus).
To be like Christ atau menjadi seperti Kristus bukanlah sebuah angan-angan yang "ketinggian" melainkan sebuah harga normal bagi keKristenan. Menjadi seperti Kristus adalah sebuah standart Allah Bapa sendiri yang harus digenapi bagi mereka yang mengaku Kristen. Namun, pertanyaannya adalah menjadi seperti Kristus itu seperti apa? Sebelum menjawab menjadi seperti Kristus itu seperti apa, maka yang perlu dipecahkan adalah menjadi seperti Kristus, Kristus yang mana, Kristus yang adalah Allah atau Kristus yang menjadi manusia sejati?
Di dalam Pribadi Kristus ada sebuah kenyataan yang mutlak harus diterima dan diamini bahwa IA adalah Allah sejati dan IA juga pernah menjadi manusia sejati dengan cara berinkarnasi. Jika kita harus menjadi seperti Kristus yang adalah Allah sendiri, maka hal itu adalah mustahil, tetapi jika kita menjadi seperti Kristus yang adalah manusia sejati, maka itu sangat amat mungkin. Bagi saya, "to be like Christ" adalah menjadi seperti Kristus yang pernah berinkarnasi menjadi manusia bukan sebagai Allah, karena kita tidak akan pernah bisa menjadi Allah, sebab kita adalah ciptaan dan selamanya akan menjadi ciptaan Allah. Mengapa saya mengatakan bahwa menjadi seperti Kristus adalah menjadi seperti Yesus yang berinkarnasi menjadi manusia? Jawabannya adalah karena di dalam kemanusiaan Yesus ada pola-pola Illahi yang dimanusiawikan dan kita harus mengikuti dan menghidupi pola-pola itu agar kita semakin seperti Kristus.
Untuk memahami hal ini, maka saya mengajak saudara untuk melihat tulisan dalam surat Ibrani 5:7-9 “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan.Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.” Dalam ayat ini jelas dikatakan bahwa Allah Bapa berkenan kepada Yesus bukan dikarenakan IA Allah, melainkan Allah Bapa berkenan kepada Yesus karena keadaannya sebagai manusia sejati, IA telah taat sampai mati sehingga IA dimuliakan dan menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat. Dengan kata lain, dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Yesus memberikan sebuah role model manusia yang diselamatkan atau manusia yang berkenan kepada Allah Bapa. Rasul Paulus memahami hal ini, karena itu dalam Roma 8:28-30, menyatakan: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.”
Bagi rasul Paulus, Yesus menjadi yang sulung diantara banyak saudara, maksudnya adalah bahwa dalam kemanusiaan Yesus, terdapat gambaran Allah atau Pola Illahi yang telah dimanusiakan atau diperagakan oleh Yesus. Selama hidup-Nya sebagai manusia, Yesus memperagakan sebuah kehidupan yang berkenan atau yang diingini oleh Allah Bapa yaitu sebuah kehidupan yang tunduk atau taat mutlak kepada kehendak atau pemerintahan Allah Bapa. Bukti tertinggi dari ketaatan Yesus adalah ketika IA merelakan diri-Nya untuk disalibkan. Ketaatan Yesus inilah yang kemudian oleh Paulus di perbandingkan dengan Adam, manusia pertama yang gagal untuk taat atau tunduk kepada kehendak atau pemerintahan Allah ketika di taman eden (Roma 5). Adam, manusia pertama yang serupa dan segambar dengan Allah telah gagal melahirkan keturunan illahi dikarenakan ketidaktaatannya kepada Allah, padahal sarana untuk taat kepada Allah telah diberikan kepada Adam di dalam gambar dan rupa Allah yang ada padanya. Namun Yesus, berhasil membuktikan bahwa manusia dapat taat mutlak kepada kehendak Allah, karena Yesus menjadi manusia pertama yang mampu untuk taat mutlak kepada kehendak Allah, maka di dalam hidup kita adalah sebuah keharusan untuk mengenakan hidup Kristus selama kita masih hidup. Inilah sebuah alasan logis sederhana dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa hidup seperti Kristus adalah hidup seperti Kristus hidup sebagai manusia sejati yang taat mutlak kepada Allah Bapa.
Dalam perenungan saya, saya menemukan gambaran atau skema besar dari Hidup seperti Kristus.
1.Yesus dalam hidup-Nya tidak terikat oleh Harta Milik dan Harta Benda.
Yesus semasa hidup di bumi memberikan sebuah gaya hidup yang sangat amat sulit untuk dicerna oleh gaya hidup pada umumnya bahkan sampai saat in, yaitu tidak terikat oleh harta benda dan harta milik. Pernyataan dan ajaran-Nya yang tercatat dalam Injil menunjukkan dengan jelas bahwa Yesus adalah Pribadi yang tidak terikat oleh harta milik dan benda: "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” (Mat 8:20); "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” (Mat 6:19-21); “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? (Mat 6:24-25); dan masih banyak ayat yang lainnya.
Rasul Paulus menterjemahkan ajaran dan gaya hidup Yesus ini dalam bentuk yang lain dalam 1 Tim 6:10, “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” Gaya hidup Yesus yang tidak terikat oleh harta milik dan benda bukanlah sebuah gaya hidup miskin atau memiskinkan diri, melainkan sebuah gaya hidup yang melihat harta milik dan benda sebagai sebuah sarana bukan tujuan hidup ini. Namun faktanya, banyak ajaran yang disampaikan di mimbar-mimbar gereja yang merangsang jemaat untuk memiliki gaya hidup matrealistis. Salah satu contohnya adalah ayat yang sering di pakai yaitu Yohanes 10:10. Para pembicara di mimbar yang menganut paham kemakmuran menterjamahkan ayat itu sebagai sebuah jaminan atau janji bahwa Tuhan Yesus itu memberkati dengan berkelimpahan yang orientasinya adalah berkat jasmani atau perkara-perkara jasmani, padahal berkelimpahan dalam ayat itu berhubungan dengan kata hidup yang disampaikan oleh Yesus, dimana hidup disitu menggunakan kata “zoe” sedangkan berkelimpahan menggunakan kata “perriso”, jika diterjemahkan adalah hidup yang berkualitas, berarti ayat ini berbicara bahwa kedatangan Yesus adalah untuk memberikan sebuah contoh sebuah hidup yang berkualitas melalui diri-Nya sendiri. Jika ayat ini berbicara soal kelimpahan materi maka berarti Tuhan Yesus seorang pendusta, karena sampai akhir hidup-Nya sebagai manusia, Yesus bukanlah seseorang yang kaya raya. Tentu saja Yesus bukanlah pendusta, melainkan Pendeta atau hamba Tuhan yang menafsirkan ayat itulah yang pendusta.
Seseorang yang menginginkan hidup seperti Kristus, maka ia harus memastikan dirinya tidak terikat oleh harta benda dan harta milik, sebab hal itu akan menyimpangkan iman percayanya dan mengeruhkan hubungannya dengan Tuhan Yesus. Tidak terikat harta milik dan harta benda berarti kita melihat harta milik dan harta benda hanya sebagai sarana untuk kita menyelenggarakan hidup yang bergantung penuh kepada Tuhan.
2.Yesus dalam hidup-Nya tidak terikat oleh Status Sosial dan Gengsi.
Tuhan Yesus semasa hidup-Nya memliki gaya hidup yang sungguh amat berbeda. Pada umumnya, seorang guru agama di Yahudi pada masa Yesus, haruslah menjaga “image” sebagai seorang rohaniwan. Mereka tidak boleh bergaul sembarangan, harus menggunakan atribut-atribut yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang rohaniawan. Tidak, Yesus tidak seperti itu. Dalam kesehariaanya Yesus banyak bergaul dengan orang-orang atau masyrakat yang termaginalkan atau terpinggirkan, misalkan orang yang sakit kusta, perempuan yang berzinah, pemungut cukai, perempuan yang sakit pendarahan, dll. Gaya hidup Yesus seperti itu bukanlah dibuat-buat atau sandiwara, melainkan karena kesadarannya dalam melihat sesama manusia. Bagi Yesus, jika seseorang mengasihi orang yang mengasihi dirinya itu adalah hal yang wajar tetapi jika seseorang bisa mengasihi musuhnya bahkan orang-orang yang secara tradisi terpinggirkan oleh karena status sosialnya maka itu barulah kasih sejati.
Yesus memperlihatkan sebuah kasih yang sejati, di mana IA tidak terikat oleh status sosial dan gengsi yang dibuat oleh manusia. Bagi Yesus, sesama manusia berharga di mata Allah Bapa. Allah tidak menginginkan manusia siapa pun dia binasa, melainkan Allah menginginkan manusia itu diselamatkan. Gaya hidup Yesus memberikan sebuah pukulan telak bagi para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, seperti yang dikatakan oleh Yesus bahwa merekalah yang menghalangi manusia untuk masuk dalam Kerajaan Sorga.