Mohon tunggu...
Bung Opik
Bung Opik Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sun Go Kong is in the house...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FF] Kisah Cinta di Lampu Merah

5 Oktober 2012   12:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:13 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber gb. blog-ansyari.blogspot.com

_

Udara siang ini terasa panas. Aku dan Damar mencoba berlindung dari sengatan matahari di sudut jalanan yang beratapkan dinding beton. Inilah panggung kami. Di antara deru kendaraan yang lalu-lalang serta kepulan debu yang bercampur asap. Akulah sang bintang. Sementara Damar mengiringi dengan kepandaiannya memainkan alat musik.

Aku tak pernah mengenal kedua orang tuaku, begitu pula dengan Damar. Bagiku dia adalah keluargaku satu-satunya. Seorang kakak laki-laki sekaligus figur orang tua yang bisa kuandalkan. Berdua kami mengais rejeki di jalanan. Hanya inilah satu-satunya keahlian yang kami punya.

***

Damar terlihat kelelahan. Beberapa kali aku mendapatinya sedang menyeka keringat yang menetes di dahinya. Aku berdiam diri menunggu Damar selesai beristirahat. Mulut Damar terlihat sibuk menampung air minum yang ia kucurkan deras dari dalam botol. Sementara tangan satunya lagi sedang asyik mengibas-ngibaskan topi yang semula ia kenakan.

Pandanganku tak lagi tertuju pada Damar. Perhatianku kini tersita oleh sepasang anak manusia dikejauhan yang sedang berjalan mendekat. Seorang gadis kecil yang lucu dan seorang wanita cantik yang terlihat anggun.

Kedua mataku menatap lekat sosok wanita itu. Senyumnya yang merekah memperlihatkan deretan giginya yang putih. Rambut hitamnya ia biarkan tergerai sampai batas punggung, dengan poni yang memanjang hingga menutupi sebagian alis. Bagaikan terhipnotis, tangan kananku terangkat ke udara seolah-olah ingin menggapainya. Seakan-akan menyadari tindakanku, gadis kecil itu tiba-tiba berseru, “Kak! Nonton dulu, yuk”. Wanita itu hanya mengangguk sambil tersenyum.

Entah apa yang ada dalam pikiranku. Rasanya terlalu berkhayal kalau aku mengharapkan bisa menjadi miliknya. Meskipun aku tak pernah memusingkan perbedaan status sosial serta segala macam tetek-bengek yang kerap kali menghalangi dua insan untuk bersatu, namun aku cukup menyadari keadaanku.

Angan-angan itu segera layu sebelum sempat berkembang. Satu-satunya yang dapat kuandalkan sebagai seniman jalanan hanyalah keahlianku yang mungkin bisa menghiburnya. Berharap hal itu akan mampu menyisakan kenangan manis dalam kisah pertemuanku dengannya.

***

Lampu merah telah menyala. Sepasang kakak-beradik itu kini sedang berjalan meniti zebra cross yang terbentang di antara dua trotoar yang memisahkan kami. Damar kelihatannya sudah cukup puas melepas lelah. Ia pun kembali bersiap-siap dengan alat musik tabuh di hadapannya.

Melihat hal itu - dengan gerakan yang tak kalah cekatan, aku segera melemparkan buah pisang di tanganku dan berlari menyongsong keranjang plastik serta payung kecil yang tergeletak di tanah.

Sarimin namaku. Inilah kisah cinta monyet yang tak kesampaian?

~0~

.

.

.

.

sumber gb. flickrhivemind.net

.

.

.

.

sumber gb. planetkenthir.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun