Mohon tunggu...
Saomi Rizqiyanto
Saomi Rizqiyanto Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

A blogger who loves fashion, food and culture, studying American Studies at University of Indonesia. Read everything about America in here www.theamericanist.web.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kencan Masa Depan, Tinder dan "Cohabitation"

24 Agustus 2017   07:28 Diperbarui: 24 Agustus 2017   21:25 1881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Charlotte adalah wanita cantik dengan karir mapan di New York, dia membayar pajak dan mampu membeli apartemen mewah di SoHo, tapi ada satu hal yang membuat dia sedikit depresi, dia single dan lelah dengan pencarian cinta yang tak berujung. Frustasi karena tidak ada pria yang memenuhi kualifikasi dirinya, kalaupun ada kebanyakan mereka hanyalah 'laki-laki brengsek'. Pada akhirnya dia memilih jalan pintas, aplikasi tinder dan donor sperma[1].

Apa yang dilakukan Charlotte barangkali merupakan representasi dari sebagian besar wanita yang ada di Amerika. Hasil pergerakan feminism di Amerika Serikat, sejak Seneca Falls Convention hingga pencalonan Hillary Clinton dari Partai Demokrat, menunjukkan hasil biner mengenai apa yang disebut ekses dari feminism. 

Perempuan bisa menjadi CEO sebuah perusahaan, bisa mengakses pendidikan tinggi, memperoleh hak dan kewajiban politik yang sama, dan bahkan membayar pajak yang sama dengan laki-laki. Tapi ada ekses yang mungkin kaum feminist lupa, sejatinya kaum wanita tetap membutuhkan laki-laki dalam hal cinta.

Itulah kenapa, di abad Kaitlyn Jenner, di mana laki-laki bisa menjadi Barbie dan perempuan bisa menjadi Rambo, angka pernikahan malah semakin menunjukkan penurunan dan angka perceraian semakin tinggi. Hasil riset yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukkan angka pernikahan pada tahun 2014 hanya sebesar 50% dari warga dewasa Amerika, turun 19 persen dari tahun 1970an (Cilluffo, 2017). Sementara angka perceraian naik menjadi 30% dari setiap pernikahan (National Center for Health Statistics, 2017)[2].

Why Marriage is Falling and Divorce is Rise?

Pertanyaan yang kemudian muncul mengapa angka pernikahan turun sementara angka perceraian naik, di sini lah kiranya perlu mengkaji budaya dan struktur hukum yang dalam hemat penulis membuat angka ini menjadi signifikan.

Baru-baru ini, penulis bertemu dengan Aria, seorang laki-laki kewarganegaraan Amerika dengan berayahkan seorang imigran Iran. Dia mengatakan bahwa sekarang di Amerika sedang ada gerakan Red Pills Movement, yakni gerakan yang mengusung kebebasan dan hak-hak laki-laki dalam struktur hukum pernikahan. Apakah ada yang salah dalam struktur hukum perkawinan di Amerika Serikat? 

Jawabannya, iya. Sistem Hukum Perkawinan di Amerika Serikat sangat menguntungkan perempuan dan sangat memberatkan laki-laki. Sebagai contoh, apabila pernikahan berakhir dengan perceraian, maka menjadi kewajiban seorang laki-laki untuk memberikan santunan hidup kepada anak-anaknya 10 hingga 20 tahun kedepan, memberikan rumah kepada istri dan anak-anaknya dengan tanpa memiliki hak asuh atas anak-anaknya. Hal ini menurut gerakan Red Pills Movement sangat memberatkan laki-laki.

Struktur Hukum yang dikenal dengan istilah Defense of Marriage Act pada intinya memang ingin melindungi institusi pernikahan yang ada di Amerika Serikat, pasangan yang menikah memiliki keistimewaan-keistimewaan dibanding orang yang tidak menikah, seperti memperoleh asuransi, join tax, immigration dsb. 

Namun seiring perkembangan waktu, undang-undang ini dirasa sangat membebani laki-laki. Jika laki-laki menolak untuk menyerahkan rumahnya dan kemudian tidak mampu untuk membiayai anak-anaknya hingga 20 tahun kedepan, laki-laki bisa dipenjara dan ini tidak berlaku untuk perempuan.

Sementara dari sisi budaya, perkembangan arus feminism, semakin tak terbendung. Televisi, Hollywood, dan Media serta Institusi Pendidikan menggembar gemborkan apa yang disebut dengan kebebasan wanita. Lihat saja serial tv Sex and The City, salah satu figur yang paling menonjolkan kebebasan wanita, Samantha Jones, mempropagandakan agar perempuan juga sama seperti laki-laki dalam kuasa seksual, di mana wanita bebas bercinta dengan laki-laki tanpa harus ada ikatan. No strings attached. 

Propaganda ini entah kenapa selalu masuk dalam ranah media, dan teori framing media menyebut, semakin sering seorang individu terpapar oleh bacaan dan tontonan, maka pikiran dan perilaku bisa sesuai dengan apa yang media propagandakan. Alhasil, banyak wanita di Amerika Serikat tidak malu-malu lagi mengajukan cerai, melakukan perselingkuhan dan bahkan memesan gigolo. Dua faktor inilah yang membuat angka pernikahan menurun dan angka perceraian naik.

Aftermath; Cohabitation, Tinder and Sperm Donor.

Alternatifnya muncul serangkaian budaya dan teknologi yang kemungkinan besar mampu menggantikan pernikahan tradisional. Kondisi yang dialami Charlotte dan ribuan wanita serta laki-laki di seluruh Amerika dan belahan dunia lainnya memungkinkan adanya istilah Cohabitation, Living Together atau Domestic Partnership, di mana laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama tanpa ada ikatan pernikahan dan kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam DOMA. 

Cohabitation ini juga memungkinkan pasangan bisa separated apabila wanita/pria menginginkannya. Cohabitation ini menjadi jamak ditemui di seluruh negara Barat baik Amerika Utara maupun Eropa Barat. Sex yes, but marriage wait.

Penggunaan Tinder sangat Marak, tetapi apakah hubungan melalui Tinder bisa mencapai titik pernikahan?

Kondisi ini juga menginspirasi kemunculan Tinder. Aplikasi dimana laki-laki dan perempuan bisa menemukan pasangan melalui aplikasi internet. Tinder memungkinkan makhluk berbeda jenis untuk bertemu, kencan dan apabila memungkinkan untuk berhubungan seks. 

Namun penulis ragu bahwa aplikasi Tinder mampu membawa Charlotte menemukan kehidupan yang ia inginkan. Hasil riset membuktikan aplikasi Tinder tidak bisa membawa wanita maupun laki-laki pada sebuah pernikahan, Pew research mengemukaan pengguna online dating apps semacam tinder adalah orang yang tidak pernah menikah. So basically, kembali ke Cohabitation lagi, sex yes but marriage wait.

Terakhir muncullah abad Sperm Donor dan Surrogate Mother, di mana perempuan dan laki-laki hanya bertemu melalui Tinder, have sex, no string attached, namun tetap menginginkan bayi. Teknologi memungkinkan manusia untuk mampu memiliki bayi tanpa ada persenggamaan. Dengan adanya sperm donor dan surrogate mother, semua orang baik laki-laki maupun perempuan, asalkan memiliki finansial yang cukup, mampu untuk bisa memiliki bayi.

The question is, is that what Charlotte looking for. Apakah setiap manusia hanya menginginkan seks, dan bayi? Saya yakin tidak, banyak orang yang menginginkan pernikahan dan membangun sebuah keluarga namun tanpa terkendala oleh masalah hukum. 

Di masa mendatang, abad di mana Tinder, Sperm Donor dan Hidup bersama menjadi narasi besar, keluarga tradisional akan sangat sulit untuk ditemui, yang bisa dijumpai adalah hubungan estetis, mekanis dan kurang bermakna.[]

[1] Illustrasi di atas adalah gambaran yang penulis ambil dari serial sex and the city dengan sedikit revisi berkaitan dengan tren saat ini.

[2] Angka-angka dari setiap kategori berbeda dari setiap latar belakang, baik ras, background pendidikan, usia hingga pendapatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun