Charlotte adalah wanita cantik dengan karir mapan di New York, dia membayar pajak dan mampu membeli apartemen mewah di SoHo, tapi ada satu hal yang membuat dia sedikit depresi, dia single dan lelah dengan pencarian cinta yang tak berujung. Frustasi karena tidak ada pria yang memenuhi kualifikasi dirinya, kalaupun ada kebanyakan mereka hanyalah 'laki-laki brengsek'. Pada akhirnya dia memilih jalan pintas, aplikasi tinder dan donor sperma[1].
Apa yang dilakukan Charlotte barangkali merupakan representasi dari sebagian besar wanita yang ada di Amerika. Hasil pergerakan feminism di Amerika Serikat, sejak Seneca Falls Convention hingga pencalonan Hillary Clinton dari Partai Demokrat, menunjukkan hasil biner mengenai apa yang disebut ekses dari feminism.Â
Perempuan bisa menjadi CEO sebuah perusahaan, bisa mengakses pendidikan tinggi, memperoleh hak dan kewajiban politik yang sama, dan bahkan membayar pajak yang sama dengan laki-laki. Tapi ada ekses yang mungkin kaum feminist lupa, sejatinya kaum wanita tetap membutuhkan laki-laki dalam hal cinta.
Itulah kenapa, di abad Kaitlyn Jenner, di mana laki-laki bisa menjadi Barbie dan perempuan bisa menjadi Rambo, angka pernikahan malah semakin menunjukkan penurunan dan angka perceraian semakin tinggi. Hasil riset yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukkan angka pernikahan pada tahun 2014 hanya sebesar 50% dari warga dewasa Amerika, turun 19 persen dari tahun 1970an (Cilluffo, 2017). Sementara angka perceraian naik menjadi 30% dari setiap pernikahan (National Center for Health Statistics, 2017)[2].
Why Marriage is Falling and Divorce is Rise?
Pertanyaan yang kemudian muncul mengapa angka pernikahan turun sementara angka perceraian naik, di sini lah kiranya perlu mengkaji budaya dan struktur hukum yang dalam hemat penulis membuat angka ini menjadi signifikan.
Baru-baru ini, penulis bertemu dengan Aria, seorang laki-laki kewarganegaraan Amerika dengan berayahkan seorang imigran Iran. Dia mengatakan bahwa sekarang di Amerika sedang ada gerakan Red Pills Movement, yakni gerakan yang mengusung kebebasan dan hak-hak laki-laki dalam struktur hukum pernikahan. Apakah ada yang salah dalam struktur hukum perkawinan di Amerika Serikat?Â
Jawabannya, iya. Sistem Hukum Perkawinan di Amerika Serikat sangat menguntungkan perempuan dan sangat memberatkan laki-laki. Sebagai contoh, apabila pernikahan berakhir dengan perceraian, maka menjadi kewajiban seorang laki-laki untuk memberikan santunan hidup kepada anak-anaknya 10 hingga 20 tahun kedepan, memberikan rumah kepada istri dan anak-anaknya dengan tanpa memiliki hak asuh atas anak-anaknya. Hal ini menurut gerakan Red Pills Movement sangat memberatkan laki-laki.
Struktur Hukum yang dikenal dengan istilah Defense of Marriage Act pada intinya memang ingin melindungi institusi pernikahan yang ada di Amerika Serikat, pasangan yang menikah memiliki keistimewaan-keistimewaan dibanding orang yang tidak menikah, seperti memperoleh asuransi, join tax, immigration dsb.Â
Namun seiring perkembangan waktu, undang-undang ini dirasa sangat membebani laki-laki. Jika laki-laki menolak untuk menyerahkan rumahnya dan kemudian tidak mampu untuk membiayai anak-anaknya hingga 20 tahun kedepan, laki-laki bisa dipenjara dan ini tidak berlaku untuk perempuan.
Sementara dari sisi budaya, perkembangan arus feminism, semakin tak terbendung. Televisi, Hollywood, dan Media serta Institusi Pendidikan menggembar gemborkan apa yang disebut dengan kebebasan wanita. Lihat saja serial tv Sex and The City, salah satu figur yang paling menonjolkan kebebasan wanita, Samantha Jones, mempropagandakan agar perempuan juga sama seperti laki-laki dalam kuasa seksual, di mana wanita bebas bercinta dengan laki-laki tanpa harus ada ikatan. No strings attached.Â