Mohon tunggu...
Saomi Rizqiyanto
Saomi Rizqiyanto Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

A blogger who loves fashion, food and culture, studying American Studies at University of Indonesia. Read everything about America in here www.theamericanist.web.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena No Marriage antara Pilihan dan Tuntutan

8 Januari 2014   13:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:01 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1389162614311902439

[caption id="attachment_304814" align="aligncenter" width="363" caption="George Clooney, Icon "][/caption] Masyarakat Amerika Serikat tengah menjalani sebuah abad dimana pilihan-pilihan individu dan penerimaannya dalam masyarakat menjadi sebuah debat yang panjang dalam tema narasi besar, yakni liberalism. Debat itu sangat terlihat dalam respon yang tercermin dalam event-event sehari-hari mulai dari pidato-pidato politik di lapangan besar, berita dan tulisan opini di Media Massa maupun tayangan televisi di ruang-ruang keluarga. Perdebatan itu ternyata masuk dalam diskursus liberalism dalam ruang privat.

Perdebatan yang sangat kentara terjadi di pesisir barat Amerika Serikat, di mana watak orang yang tinggal di daerah ini dikenal dengan gaya hidup kasual akibat kedekatannya dengan Hollywood sebagai jantung dari industry hiburan dunia. Negara bagian California adalah states pertama di Amerika Serikat yang membolehkan Same Sex Marriage melalui undang-undang Domestic Partnership Act pada tahun 1999. Walaupun pernah dianulir pada tahun 2000 melalui Proposition 22 namun mahkamah setempat membatalkan proposisi ini pada tahun 2008, dan di tahun 2011 California menjadi negara bagian pertama yang membolehkan pengajaran sejarah LGBT dalam mata kuliah sosiologi serta melarang diskriminasi pendidikan dan pekerjaan kepada kaum LGBT.

Selain Same Sex Marriage, daerah pesisir barat atau California juga menjadi negara bagian kelima yang melegalkan abortion bagi wanita dengan mengikuti ketentuan hukum, ini berarti CA termasuk negara bagian yang semi konservatif dalam masalah abortion. Ketentuan dilegalkannya abortion di California adalah demi kesehatan wanita (1), dalam keadaan diperkosa (2), incest (3) ataupun dalam keadaan dimana janin dalam kondisi bahaya (4). Abortionnya pun harus melalui asistensi dari tenaga medis rumah sakit setempat. Namun demikian berita terkini New York Times, melaporkan bahwa gubernur Jerry Brown telah menandatangi RUU yang akan dibawa ke DPR dan Senat setempat untuk uji materi mengenai abortion. Salah satu poin pentingnya adalah membolehkan tenaga non medis untuk melakukan abortion. Suatu langkah yang paling progressive dalam masalah paling konservatif dalam kebebasan masyarakat Amerika Serikat.

Walaupun terkenal dalam menghargai kebebasan dalam ranah individu, ternyata California masih melarang upaya praktik euthanasia dalam keseharian warganya. Califronia tidak mengikuti jejak Oregon, Montana, Vermont dan Washington yang melegalkan upaya bunuh diri melalui kesepakatan pasien dan dokter itu. Klasifikasi jenis pidana bagi pelaku euthanasia adalah felony yang berarti kejahatan besar.

Namun inti dari perdebatan yang sudah sampai pada tingkat legislasi ini adalah bukan pada boleh dan tidaknya tindakan pernikahan sejenis, aborsi dan euthanasia, namun diskursus nya adalah terletak pada respon dari masyarakat amerika menyangkut masalah kebebasan pribadi apakah kebebasan pribadi termasuk dalam wilayah pemikiran liberalism ala Louis Hartz yang lebih menekankan liberalism pada ranah public ataukah pemikiran liberalism menyangkut juga ranah pribadi mengingat “the personal is politics” dan kalau berbicara personal, maka William Sandels mengutarakan “the unencumbered self” yang ujung-ujungnya akan berefek pada keputusan-keputusan politik juga.

Sangat terkait dengan tema kebebasan pribadi, berita-berita yang muncul di media massa, dan kali ini lagi-lagi berasal dari pesisir barat, Hollywood memunculkan sebuah gerakan yang dinamakan “no marriage movement” sebuah tren yang mengungkap pasangan “living together” dalam jangka waktu lama dan bahkan sampai memiliki anak dengan segala kelebihan materi dan kesempurnaan hidup, namun tidak mau terikat dalam sekat-sekat pernikahan.

Gerakan ini disinyalir mulai kentara saat actor George Clooney mengatakan pada media bahwa dia tidak mempercayai institusi pernikahan. Sebuah pernyataan yang mengungkap komentar-komentar yang sama dari beragam warga di pesisir barat dan memicu sebuah gaya hidup yang sama sekali baru pada tatanan masyarakat AS. Selama ini tatanan atau model dari gaya hidup masyarakat Amerika Serikat adalah, pacaran sewaktu kuliah, living together dalam kurun waktu satu dua tahun, lalu kemudian menikah secara legal dan kemudian mempunyai anak. Fenomena no marriage movement ternyata mengubah tatanan itu. Menghapus mata rantai pernikahan dan diduga menyuburkan praktik adopsi dan apabila pasangan ini berpisah menaikkan rate single parent.

No Marriages muncul saat dimana tuntutan demi tuntutan dalam ikatan pernikahan semakin besar yang menimbulkan angka yang besar dalam perceraian dan pengabaian anak-anak. Dr. Debra Castaldo dalam buku yang berjudul “Relationship Reboot” mengungkapkan, banyak orang dewasa menikah pada usia 20an dan kemudian bercerai setelah sepuluh tahun menikah. Angka statistic menunjukkan sekitar 1 dari 2 pasangan yang menikah memilih bercerai dan kemudian melakukan re-marriages. Perceraian demi perceraian yang menyakitkan dan memalukan ini ternyata memiliki dampak pada memori anak-anak yang dibesarkan dalam kondisi divorce semacam ini. Menurut Castaldo, anak-anak ini tidak mau mengikuti langkah-langkah orang tuanya dan kemudian memilih untuk tidak menikah.

Sementara itu, George Clooney yang menjadi icon dari fenomena No Marriages mempunyai landasan lain yang menyebabkan mengapa ia tidak mempercayai institusi pernikahan. Kegagalannya dalam membina rumah tangga bersama aktris Talia Balsam menjadi penyebab utama dia bersumpah untuk tidak menikah lagi. Walaupun dalam beberapa kesempatan George Clooney sering bersama seorang wanita, Clooney selalu menolak untuk berkomentar kapan dia akan menikah. Wawancaranya dengan program CNN “Piers Morgan Tonight” membuka kalimat pamungkas yang sering dikutip dalam berbagai media hingga kini. “I swear that I will never tie the knot again”.

Kasus Clooney bisa disimpulkan akibat dari trauma pernikahan yang menyebabkannya tidak mau percaya pada pernikahan. Banyak kasus serupa dengan Clooney yang akhirnya seperti yang dikatakan oleh Castaldo, pesimis dengan nilai-nilai dari pernikahan itu sendiri. Seperti yang dilakukan oleh Walt dari Meriden, Connecticut. Dia berusia 23 tahun tatkala mengetahui bahwa pacarnya hamil. Mereka kemudian living together, untuk test the waters for long time commitment. Mereka moving dalam sebuah apartemen, membesarkan anak mereka. Lalu ketika muncul tuntutan-tuntutan semisal “kapan kamu menikahi saya” menjadi sebuah batu sandungan dalam hubungan ini. Walt memilih untuk berpisah daripada ia harus meresmikan hubungan dalam jangka waktu lama.

Walt berpendapat “jika saya menikahi seseorang dan kemudian tidak berhasil, alias bercerai, saya diwajibkan untuk memberi alimentasi kepada mantan istri dan anak-anaknya, saya kemudian diwajibkan memberikan rumah saya kepada mantan istri, lalu saya mendapat apa? Pikirkan sekali lagi 50 persen pernikahan berakhir dengan perceraian, jika 50 persen parasut yang digunakan tidak terbuka ketika kamu terbang, apakah kamu akan tetap melakukan skydiving” papar Walt. Alasan Walt bisa jadi masuk akal, ketika tuntutan demi tuntutan datang dari pasangan lalu kemudian saat pria mengabulkan tuntutan, justru hukum tidak berpihak pada pria. Pragmatisme ini sering memunculkan seperti yang disebut oleh Sandels “the unencumbered self” manusia leluasa yang bebas memilih pilihan dalam hidupnya.

Berbeda dengan Clooney dan Walt, ternyata actor Brad Pitt punya ide dan gagasan yang sama walaupun dengan latar belakang yang berbeda. Pitt pernah mengutarakan di Media, walaupun dia sudah living together dan memiliki anak kandung dengan aktris Anggelina Jolie. Pitt tetap tidak akan menikahi Jolie sampai semua negara bagian membolehkan siapapun untuk menikah tanpa memandang orientasi seksual maupun hal lainnya. Motif Pitt bisa jadi berbeda namun intinya adalah Pitt merasa bebas menentukan pilihan hidup. Hartz mungkin memandang pilihan hidup Pitt tidak akan berpengaruh terhadap politik praktis yang merupakan ruang kebebasan public. Tapi jelas-jelas pendapat Pitt mempengaruhi banyak pola pikir yang berimpas pada keputusan-keputusan politis.

KESIMPULAN

Fenomena No Marriage sejatinya adalah pilihan hidup seseorang untuk tidak menikah dengan pasangan yang timbul akibat dari banyaknya tuntutan dan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan oleh pria dengan kompensasi yang tidak seimbang. No Marriage ini dalam pandangan Hartz dan Tocqueville bukanlah merupakan bagian dari tradisi kebebasan masyarakat Amerika. Namun dalam pandangan William Sandels dan para feminist lainnya, No Marriage merupakan bentuk kebebasan dalam ranah pribadi yang berimplikasi pada kebebasan politik yang lebih luas dan merupakan inti dari kebebasan itu sendiri. Feminist mengatakan “the personal is politic” dan Sandels mengatakan “the unencumbered self”. Sejatinya pendapat feminist dan Sandel seperti ini, No Marriage yang dipelopori oleh Clooney adalah bentuk kebebasan pribadi yang sangat leluasa, dan itu adalah bentuk kebebasan politik yang luas.

Happen Magazine. Why I’ll Never Marry. Diambil dari laman http://www.match.com/magazine/article/12847/Why-Ill-Never-Marry/

Ibid

California Expands Availability of Abortions. New York Times 10 Oktober 2013. Diakses dari laman http://www.nytimes.com/2013/10/10/us/california-expands-availability-of-abortions.html

State-by-State Guide to Physician-Assisted Suicide. ProCon.org diakses melalui laman

http://euthanasia.procon.org/view.resource.php?resourceID=000132

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun