[caption id="attachment_143753" align="alignleft" width="286" caption="Chicken Soup"][/caption]
JAMUAN sup ayam yang menjadi hidangan utama di salah satu restoran ternama di Surabaya tidak seperti biasanya mengundang banyak komentar para customer malam itu. Komentarnya beragam, ada yang memuji tapi ada juga yang mengeluh. Sang manajer restoran yang bernama Nita, tidak merasa bangga diri ketika dipuji atas kejeniusannya memasang label Halal for Good Food di jamuan utama makan malam itu. Ia juga tidak galau ketika customer mengeluhkan mahalnya harga sup ayam, yang tadinya 20 ribu semangkuk sekarang naik menjadi 40 ribu semangkuk. Sebagai seorang manajer, Nita tahu betul atas resiko pilihannya itu.
“ya saya tahu betul resikonya, tapi menurut saya ini keputusan yang terbaik, saya merasa memberi harga yang adil bagi peternak di pedesaan” ujar Nita sembari memberi keterangan kepada para customer mengenai kebijakan harga yang baru atas setiap produk makanan yang memasang label Halal for Good Food. Menurut Nita, kebijakan ini merupakan grand strategi baru bagi restorannya.
Nita menuturkan setidaknya ada tiga hal yang ingin dicapai dari kampanye Halal for Good Food itu, pertama mengedukasi konsumen mengenai makanan yang halal dan baik, kedua, memberikan harga yang adil baik bagi konsumen, produsen dan distributor, yang ketiga tidak jauh dari kegiatan bisnis, meningkatkan laba bagi semua pihak. Dan sejauh ini kampanye itu berhasil, bahkan tidak dinyana pesanan datang bertubi-tubi, tidak hanya dari badan usaha, bahkan majelis-majelis taklim pun banyak yang memesan.
Nita lebih jauh menceritakan ide asal mula kampanye label Halal for Good Food itu, sembari menyantap sup ayam yang menjadi trademark restorannya, Nita mengatakan kalau ide itu berasal dari salah seorang account officer ketika dirinya mengajukan pembiayaan pada salah satu bank syariah di Surabaya. Menurutnya Bank memberikan opsi pembiayaan bersertifikat Halal for Good Food dengan requirement bahwa produk-produk yang dijual bersertifikasi dan bersumber dari produk-produk yang juga mempunyai sertifikasi Halal for Good Food. Menurut Nita ini ide yang bagus sehingga dia menerima opsi pembiayaan ini, tandasnya lebih jauh.
Melintasi puluhan kilometer dari restoran Nita di Surabaya, Mahbub, baru saja memberi makan kepada ratusan ayamnya di peternakan milik keluarganya di Tulung Agung. Besok sekitar pukul sembilan pagi, ratusan ayamnya yang siap umur akan dipotong guna memenuhi pasokan kebutuhan ayam potong di beberapa rumah makan restoran di kota-kota besar di jawa timur. Menurut Mahbub proses ini setidaknya akan memakan waktu tiga sampai dengan lima hari.
“kalau dulu sih 2-3 hari selesai, tapi sekarang karena ada peraturan baru dari bank, maka ya jadi lebih lama” ujar Mahbub.
Menelisik lebih jauh, menurut cerita mahbub, peternakannya baru saja mendapat suntikan dana dari bank syariah setelah tahun lalu kolaps karena isu flu burung. Bank memberikan fasilitas pembiayaan dengan persyaratan yang mewajibkan Mahbub berternak dan memotong ayam dengan standar halal. Salah satu standar yang diterapkan adalah ayam yang dipotong harus diberi vaksin organic, pemotongannya pun harus menggunakan pisau tajam yang harus dipertajam setelah 10 kali pemotongan. Sehingga dari segi biaya dan waktu jadi lebih membengkak. Tapi itu juga sepadan dengan konsesi yang diberikan, pasalnya harga ayam potongannya naik 2 kali lipat, produknya pun mendapat sertifikasi dan label Halal for Good Food dari bank yang memberi pembiayaan. Itu belum seberapa, produk-produknya ternyata diterima di berbagai restoran yang juga menyandang label halal for good food, dan yang lebih penting demand-nya naik setiap tahun. Tentunya pendapatan yang diterima Mahbub naik berlipat-lipat.
Cerita tentang Nita dan Mahbub memang fiktif tapi bukan suatu utopia, hal itu realistis dan bisa dilaksanakan sepenuhnya melalui mediasi lembaga keuangan maupun korporasi yang memiliki kepedulian terhadap panganan halal dan baik. Setelah tahu ini fiktif, mungkin pembaca segera beralih meninggalkan laman ini tapi tunggu dulu, ada cerita menarik yang lebih real dan cerita ini bahkan masuk sebagai salah satu inspirasi Majalah TIME dalam menganugrahkan penghargaan 100 Most Influential People in the World tahun ini.
Tristan Lecomte, founder sekaligus CEO dari Alter Eco, baru-baru ini mendapatkan penghargaan yang tak diduga, majalah TIME, mingguan paling berpengaruh di jagat ini baru saja menganugrahinya sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia. Nama Tristan sejajar dengan Barrack Husseyn Obama dari kalangan politisi/negarawan, dan Oprah Winfrey dari kalangan Selebritas. Apa sesungguhnya yang membuat TIME memberikan penghargaan ini kepada Tristan.
Dalam artikel yang dirilis www.altereco-usa.com, disana disebutkan bahwa Tristan telah mendedikasikan hidupnya untuk mempromosikan system perdagangan global yang memberikan perubahan positif bagi produsen dan konsumen. Bagi Produsen, Lecomte melalui Alter Eco memberikan kebebasan bagi petani-petani kecil di Negara ketiga untuk mendapatkan harga yang adil sekaligus memperbaiki kebanggaan akan kerja dan kehidupan mereka sebagai petani. Sedangkan bagi konsumen, Lecomte melalui Alter Eco memberikan kebebasan bagi pembeli untuk mendapatkan informasi semisal dari mana produk ini di datangkan, bagaimana proses pemilihan produk yang asli, apakah produk ini sehat dan ramah lingkungan sehingga hal ini membuat pembeli mendapakan produk yang terbaik, Untuk mempermudah komunikasi ini, Lecomte memberikan Label AlterEco FairTrade dan Carbon Zero di setiap produk Altereco. Label ini yang akhirnya membuat petani petani di Negara ketiga mendapatkan harga yang adil dan produk terbaik bagi konsumen.
Hal inilah yang kemudian membuat TIME memberikan penghargaan tersebut, TIME menyebut, Lecomte secara internasional berhasil mempengaruhi perusahaan-perisahaan dunia akan bisnis yang sustainable, ethic, dan authentic sebagai salah satu bagian dari perdagangan adil (Fair Trade). Tidak hanya itu Lecomte juga dinilai sukses mengintegrasikan perannya dalam pembangunan social ekonomi dan bisnis yang berkeadilan.
Dalam pidato penerimaan penghargaan itu, Tristan mengatakan “This honor is truly recognition of the system as a whole, not of the individual. Without the many thousands of extraordinary fair trade farmers, passionate and dedicated consumers, or the collaborative genius of my partners we would not be where we are today. This is my life's work, and to be included in TIME's 100 list says to me that the path we have chosen is making its mark on the world. I am very grateful” ujar Tristan. Selain CEO dari Alter Eco, kini Lecomte juga duduk di dewan penasihat Jacques Chirac Foundation yang berkedudukan di Paris bersama rekan-rekannya, termasuk ilmuan muslim terkemuka, Mohammed Arkoun.
Ibarat kepingan puzzle, bisakah cerita terakhir ini membuat pemahaman yang utuh. Kisah Lecomte bisa menjadi inspirasi bagi Bank Syariah untuk mampu memainkan peranannya, sebagai lembaga bisnis sekaligus fungsi sosial.
Sebagai lembaga bisnis, Bank Syariah mampu berperan seperti Lecomte dengan Alter Eco nya, Perhatikan cerita Nita dan Mahbub, Bisakah Bank Syariah menjadi perekat bagi kedua usaha ini? melalui label Halal for Good Food seperti yang penulis ceritakan diatas, penulis yakin ide inovatif ini mampu di realisasikan. Bank menyediakan pembiayaan berlisensi Halal for Good Food bagi usaha-usaha peternakan dan rumah makan. Bank akan memberikan label ini bagi peternakan Mahbub yang menyembelih hewan ternaknya sesuai dengan standar halal, pun dengan restoran Nita, Jamuan Sup Ayamnya akan diberikan label Halal apabila menerima pasokan ayam dari peternakan mahbub.
Secara bisnis hal ini menguntungkan, baik bagi bank syariah, Nita maupun Mahbub. Nita berhak menaikkan harga Sup Ayamnya, Mahbub mendapatkan harga yang lebih tinggi dari harga biasanya dan Bank mendapatkan bagi hasil yang sesuai. See… Is that truly simple innovative idea?
Secara social, bank syariah telah mampu memainkan fungsinya di tengah umat untuk mempromosikan panganan halal yang bermutu baik. Hal ini tentu akan menyadarkan banyak umat untuk hanya membeli produk-produk berstandar label halal for Good Food. Bukankah hal ini merupakan multiple benefit bagi bank. Tentu saja!
Saat perbincangan terakhir dengan Nita malam itu, wanita ini ditanya mengapa ia mau menerima tawaran ini, bukankah pembiayaan ini beresiko? apakah dengan naiknya harga tidak takut ditinggal pelanggan? Nita menjawab “kalau Starbuck dengan label FairTrade bisa menaikkan harga kopinya sampai dengan 90 ribu, kenapa sup ayam saya dengan label Halal for Good Food tidak bisa?” off course we can do better! Ujarnya sembari menutup cerita ini.
Tema : Bank Syariah Idaman Saya, bisa juga dibaca di
http://saumiere.co.cc/2010/05/18/chicken-soup-for-ib-bankers/
picture taken from http://www.jewishjournal.com/opinion/article/deliverance_20070330/
Artikel ini merupakan cerita berangkai dari serial iBeConomics Undercover yang saya tulis untuk mengikuti iB Blogger Competition BI-Kompasiana. Cerita sebelumnya bisa dibaca di judul “financing ‘the next starbuck” di kanal blog kompasiana ini.
XOXO Saumi Rizqiyanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H