Mohon tunggu...
Saufi Hamzah
Saufi Hamzah Mohon Tunggu... Relawan - Mahasiswa akhir yang mengisi waktu luangnya dengan menjelajahi dunia baru, dan sesekali membual sana-sini

* Perindu Nabi * Pecinta Kyai * Pengagum Sufi * Sebulir bibit yang sedang bermetamorfosis menjadi pohon yang baik, mengayomi, dan memberikan manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tren Pop Culture dan Wajah Baru Kekerasan Dunia Pendidikan Indonesia

19 Maret 2020   16:16 Diperbarui: 22 Maret 2020   13:00 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
deviantart.com/ludilozezanje

Tulisan ini berangkat dari tradisi pop culture dan dampak negatifnya di dunia pendidikan. Fenomena dimana jamak dijumpai dan malah terkesan selalu datang bergiliran dalam kehidupan keseharian kita karena intensitasnya peranan teknologi. 

Tentu tulisan ini hanya sepotong kecil dari problematika-problematika yang ada, tapi paling tidak tulisan ini dimaksudkan sebaga langkah ikhtiar untuk memasang serpihan dari sekian banyak puzzle yang harus disusun. Berawal dari sebuah kegelisahan yang cukup lama terpendam namun akhirnya dapat menjadi tulisan yang sederhana namun mewakili perasaan.

Perkembangan teknologi informasi memposisikan media sosial seolah-olah menjadi kebutuhan primer generasi muda sekarang, di dalamnya dapat ditemukan segala bentuk informasi up to date salah satunya adalah konten viral berupa foto, video, maupun meme. 

Di samping masifnya tren konten-konten viral tersebut karena selalu diekspos juga dibarengi dengan mudahnya mengakses yang kemudian membentuk suatu perilaku baru secara latah yang di sebut sebagai pop culture.

Perilaku pop culture merambat hampir pada semua aspek kehidupan karena langsung bersentuhan dengan emosi dan kecenderungan gaya hidup generasi muda. Tak terkecuali dunia pendidikan.

Pendidikan idealnya menjadi sarana dan fasilitas mencerdaskan kehidupan berbangsa yang bisa dirasakan semua anak bangsa tanpa terhalangan dinding strata sosial.

Ia bisa disebut jembatan karena secara hakikat ia menjadi jalan dari semula tidak tahu menjadi tahu, tidak cakap menjadi cakap, dan seterusnya. 

Namun realitasnya masih terjadi disparitas dan kesenjangan sosial yang cukup tinggi di Indonesia. Orang-orang yang bermodal dapat mengakses pendidikan secara mudah dan tidak ambil pusing memikirkan beban biayanya.

Sementara keluarga yang berekonomi pas-pasan tentu berpikir dua sampai sepuluh kali untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah "besar". Sehingga eksklusivitas pendidikan kita masih cukup jelas dirasakan.

Lalu apa hubungan antara pop culture dengan kekerasan di dunia pendidikan?

Pop culture sederhananya adalah tren serba ikut, latah, dan asal "eksis" pada sesuatu yang sedang viral di jagat maya. Perilaku semacam ini jika tidak disikapi secara kritis akan menimbulkan dampak yang cenderung negatif.

Oleh karenanya, selain banyaknya para generasi mudah yang menggandrungi pop culture, juga ada barisan baru yang menamai diri mereka sebagai anti-mainstream, yaitu individu atau sekelompok orang yang tidak mau mengikuti tren yang sedang booming. 

Menarik apa yang menjadi kajian Pierre Bourdieu, seorang Sosiolog kenamaan Prancis dalam bukunya Distinction mempopulerkan istilah symbolic violence (kekerasan simbolik).

Pierre Bourdieu mengungkapkan bahwa proses mekanisme dalam melakukan kekerasan simbolik terjadi secara tidak nampak dan terkesan "tersembunyi". Dalam kaitan tulisan yang ringkas ini, kita akan membedah problematika dengan menggunakan perspektif Pierre Bourdieu.

Dalam psikologi pendidikan kita mengenal istilah kekerasan atau bullying verbal, psikis, maupun fisik. Jika kekerasan dalam perspektif psikologi cukup mudah untuk diidentifikasi, berbeda dengan kekerasan simbolik yang bukan saja sukar diidentifikasi, justru dianggap sesuatu yang wajar terjadi. Sehingga mekanisme kekerasan itu diterima sebagai yang memang seharusnya demikian.

Selain mengenalkan konsep kekerasan simbolik, Pierre Bourdieu juga mengenalkan konsepnya yang dikenal dengan Habitus. Habitus dapat dipahami sebagai sistem persepsi, pikiran, dan tindakan. Habitus juga merupakan gaya hidup, nilai-nilai, watak, dan harapan kelompok sosial tertentu.

Apakah Kekerasan simbolik dan Habitus itu dapat kita jumpai di kehidupan sehari-hari kita?

Untuk menjawab itu perlu kiranya kita ambil suatu sampel faktual berupa konten di media sosial yang mengarah dan diduga keras berimplikasi pada kekerasan simbolik di dunia pendidikan.

Belakangan perilaku pop culture yang akrab kita temui adalah konten video tren di beberapa platform media sosial yang bertema "Private School Check", "University Check", "Fakulty Check" yang bermaksud menjelaskan "realitas" pendidikan para anak didik di sekolahnya masing-masing. 

Pendidikan yang semula sebagai wadah mengembangkan potensi diri bergeser ke sesuatu yang lebih bergengsi. Padahal tidak semua orang dapat mengakses pendidikan tinggi terlebih di sekolah atau universitas ternama yang notabene mahal. Bahkan ada yang tidak punya peluang sama sekali.

Ada juga konten serupa namun berbeda tema, yaitu "alasan cowo ngga mau sama gue", "alasan cewe ngga mau sama gue" yang kurang lebih sama motifnya, hanya saja yang terakhir ini ingin menggambarkan status kelas kehidupannya di lingkungan rumah. mungkin ini yang disebut oleh jamak generasi sekarang sebagai "merendah untuk meroket", atau menegaskan status sosialnya untuk mengesani orang lain bahwa dirinya masih belum cukup "royal" di banding pusaran lingkungan pertemanan atau lingkungannya.

Dalam membelah femonema pop culture yang kaitannya dengan kekerasan simbolik di atas, rupanya ada dua faktor yang digunakan untuk memuluskan mekanisme kekerasan simboliknya.

Pertama, penggunaan bahasa. Bahasa adalah sub-budaya dan media adalah instrumen untuk mendiseminasi yang dijadikan senjata oleh kelas elit untuk memanifestasikan status quo-nya dan mensosialisasikan kepada golongan kelas bawah.

Lalu kedua, gambar dan video. Konten video di pembahasan pertama perihal maksud seorang anak didik (kadang juga dengan teman-temannya) yang menunjukkan kemewahan dan kemegahan fasilitas dan sarana prasana sekolah atau universitasnya. 

Sementara di konten video kedua mengenai seorang laki-laki yang menceritakan "alasan" kenapa perempuan tidak ada yang mau dengan dirinya, dengan memperlihatkan koleksi motor dan mobil di garasi rumah, koleksi pakaiannya yang branded, mengakui dirinya berparas "jelek", hobinya yang tidak seperti kebanyakan orang (baca: gym), arsitektur dan perabotan rumah mewahnya, dan sebagainya. 

Begitu juga sebaliknya. Sekali lagi bahasa dan media adalah alat sakti untuk mensosialisasikan privilese dan status sosialnya kepada kelas bawah. Inilah gaya hidupku, inilah kelas sosialku, dan inilah habitusku! Apakah kamu bisa sepertiku?

Dari dua fenomena pop culture tersebut memungkinkan menimbulkan rasa minder, heran, takjub, dan iri dari pengguna media sosial lainnya bukan saja dari golongan bawah tetapi juga kelas strata ekonomi menengah keatas. 

Lebih jauh lagi akan mengarah pada proses stimulus yang berakibat pada respon negatif disamping "pengondisian" persepsi dan perilaku tertentu yang mengarah pada budaya kelas elit, bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang baik adalah sekolah atau universitas bergengsi serta mempunyai sarana prasarana megah, adapun untuk menjalin hubungan dan mendapatkan perhatian dari lawan jenis harus didasari oleh kilauan materi yang mewah.

Sebagai demikian, sejarah mencatat kekerasan simbolik yang dirasakan oleh suku Aborigin di Australia dan suku yang jamak dikenal dengan The First Nation di Kanada yang dipaksa masuk ke sekolah orang putih (kaum elit) dalam rangka pengondisian dan asimilasi budaya, sehingga saat keluar dari sekolah tersebut mereka berpikir, berperilaku, dan bertindak sesuai dengan orang kulit putih. Pergeseran habitus dari gaya hidup, nilai, dan ekspektasi yang sama sekali berbeda. Akhirnya mereka teralienasi dari identitas budaya, nilai, dan bahasanya sendiri karena kalah oleh dominasi kaum elit.

Proses sosialisasi kekerasan simbolik sekaligus "pemaksaan" habitus dari kelas elit kepada kelas bawah secara sadar maupun tidak sadar telah berlangsung.

Namun yang jelas kekerasan simbolik itu dilakukan secara masif di media sosial tanpa banyak yang menyadarinya, karena menggunakan pendekatan eufemisme, suatu pendekatan yang sangat halus dan tidak nampak bahwa kekerasan itu sedang dijalankan. 

Kekerasan simbolik di atas sama-sama menarasikan penggunaan simbol-simbol kepemilikan dan budaya kelas atas (elite), yang secara pasti tidak akan mungkin bisa diaskes oleh kelas bawah.

Apakah kita selama ini merasa terdominasi dan telah dijadikan objek kekerasan simbolik maupun "pemaksaan" habitus? 

Atau, sebaliknya, kita jangan-jangan justru menjadi bagian dari golongan elit yang mendominasi dan melakukan kekerasan simbolik dan "memaksakan" habitus kita?

Wallahu a'alam bi sh-showab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun