Kegagalan Memahami PerbedaanÂ
Masyarakat majemuk bukanlah sesuatu yang sengaja diatur oleh manusia. Masyarakat majemuk mengada atas izin Tuhan, sehingga merupakan sebuah keniscayaan untuk manusia terima dengan lapang dada.
Konsekuensi tertinggi dari sebuah penerimaan atas keniscayaan Tuhan ini adalah kejujuran dalam menerima perbedaan. Sebab, ketidakmampuan menerima perbedaan ini pada akhirnya akan mengakibatkan perpecahan antar umat manusia.
Kondisi kegagalan menerima perbedaan ini rasa-rasanya begitu terasa akhir-akhir ini di kehidupan bermasyarakat kita. Dalam berbagai kesempatan kita menyaksikan bagaimana diskriminasi dan ketidakadilan terjadi dimana-mana. Penindasan pada kelompok minoritas, maupun penyerangan terhadap pribadi seseorang, hingga sikap kriminal yang lain. Meskipun telah diatur hukum-hukum sebagaimana yang kita ketahui, baik itu hukum-hukum dalam agama, maupun hukum yang dibuat oleh Negara sebagai konsensus bernegara.
Namun tetap saja kejahatan, diskriminasi dan ketidakadilan itu tumbuh mengakar di tengah masyarakat. Mengkristal dan membentuk semacam kelompok-kelompok radikal, maupun perorangan. Bahkan dalam skala yang jauh lebih besar kelompok yang mengatasnamakan pahaman tertentu dan merasa paling benar ini dengan mudahnya mengkafirkan yang lain. Segala ketidakcocokan dan perbedaan pandangan yang gagal diterima ini sekaligus  pemaksaan atas kehendak tertentu melahirkan kekerasan yang terus terjadi.
Perselisihan dan PerdamaianÂ
Dalam perjalanan zaman, dunia ini memang senantisa melahirkan dua kutub besar yang antara satu dengan yang lainnya selalu bertentangan. Kita mengenal ada, semisal kapitalisme dan sosialisme, ada rasionalisme dan empirisme, dalam islam terkenal dua kutub Mu'tazilah dan Asy'ariah, bahkan sepeninggal Nabis saw. terpecah dua kutub yang saling merasa sebagai pelanjut estafet kepemimpinan baginda rasul saw. dan sebagainya.
Seolah jika menenilik sejarah dan mencoba merenungi dengan cepat, maka seolah-olah perdamaian itu menjadi hal yang mustahil. Namun benarkah perdamaian itu hal yang mustahil?.
Jika belum mampu mendamaikan dunia yang begitu luas, bagaimana dengan wilayah sekitar tempat tinggal kita?. Tentu  problemnya tidak sekompleks dunia ini. Bagaimana dengan Negara kita? Tentu bukan hal mustahil untuk mewujudkan perdamaian di suatu Negara.
Mendamaikan sesuatu berbeda dengan mengkaji sesuatu. Jika dalam mengkaji sesuatu maka seseorang lebih banyak menggunakan akalnya. Namun dalam mendamaikan, seseorang musti cenderung pada hatinya.
Contoh yang sangat sederhana, jika seorang laki-laki dan perempuan ingin bertemu dalam satu titik pemahaman dan mulai membangun hubungan, apakah keduanya musti mengedepankan akal?. Ataukah seharusnya kedua orang ini mengedepankan hati?. Tentu untuk menemukan satu titik kesepemahaman dan penyatuan maka hati lah yang harus diutamakan.