Dalam banyak hal yang kita lakukan di dunia ini kadang hanya berkutat dalam ruang 'menang dan kalah'. Mungkin sekilas hal ini tidak terasa aneh apalagi mengganjal. Namun dalam uraian yang lebih mendalam, kondisi ini sebenarnya cenderung menghambat tumbuhnya kedamaian antar sesama.
Mari coba menghadirkan bayangan masa kecil dalam benak kita masing-masing. Saat itu kita duduk di bangku sekolah, dimana terdapat posisi bangku yang berurutan. Pada bangku depan biasanya di isi oleh anak-anak yang percaya diri dan rajin belajar, semakin kebelakang biasanya anak-anak yang cenderung cuek, pemalu bahkan malas.
Skenario dan kebiasaan ini membuat posisi duduk depan menjadi baik, dan posisi duduk belakang menjadi buruk. Dan secara tidak langsung, sebuah konsep yang membentuk mental kompetisi itu ditumbuhkan secara massive.
Orang-orang yang merasa pandai pada akhirnya tentu ingin untuk terus dikatakan pandai, beberapa orang yang awalnya merasa dikucilkan karena duduk di belakang, pada akhirnya ikut ingin duduk di depan. Mental kompetisi untuk menjadi yang terdepan dalam artian mendapat pengakuan sebagai orang pandai pun dimulai, sebuah target yang mesti dicapai dengan mati-matian.
Padahal jika ingin mengoreksi lebih jauh kebelakang, tanpa mempermasalhkan posisi tempat duduk, maka kita mungkin dapat memikirakan potensi bahwa bisa saja anak yang duduk dibelakang itu sebenarnya cerdas, hanya saja mereka tidak suka atau tidak nyaman dengan metode pembelajaran kelas yang terlalu kaku seperti itu sehingga mereka terkesan tidak memiliki kemampuan belajar yang baik seperti anak-anak yang duduk di depan.
Namun, yang terjadi saat ini adalah cara pandang mental kompetisi demi pengakuan itu telah mengendap dalam diri anak bangsa. Kegagalan dalam memahami dan mengasah potensi anak sejak dini pada akhirnya menjebak pertumbuhan generasi muda dalam suatu indikator kecil yang disebut "kemenangan". Yah, semua orang berlomba-lomba untuk menjadi pemenang. Dalam hal apa saja demi sebuah pengakuan. Dalam perkembangannya, istilah pengakuan ini cenderung menjadi kekuasaan.
Jadi, paradigma kita cenderung mengarah pada mental kompetisi demi sebuah kekuasaan. Konsekuensi terburuknya adalah seseorang mesti melakukan segala cara untuk tujuan pengakuan atau kekuasaan tadi. Seandainya sedari awal kita mampu memahami bahwa manusia memiliki beragam potensi dan preferensi kebahagiaan masing-masing, mungkin kita tidak akan pernah membeda-bedakan anak yang duduk di depan dan anak yang duduk di belakang dalam hal potensi untuk sukses dan senantiasa menyajikan metode pembelajaran  yang beragam dan menciptakan suasana kelas yang tidak kaku.
Mental kompetisi, memaksa kita untuk melihat ada pihak lain yang kalah. Contoh yang paling nyata adalah kontestasi politik demokrasi di negara ini. Semua calon pemimpin ingin memenangkan dirinya. Menganggap pemilu atau pilkada adalah sebuah pertarungan politik. Rasanya tidak ada yang menganggap bahwa pesta demokrasi tersebuat adalah sebuah ikhtiar politik menyambut pemimpin baru.Â
Siapapun yang layak memimpin harus di dukung tanpa dorongan hasrat untuk berkuasa demi kepentingan pribadi.
Mental kompetisi dalam bernegara dan bermasyarakat hanya memperlebar jarak, dan mempertegas perselisihan. Padahal yang kita ingin capai adalah kerukunan, perdamainan dan keadilan sosial.
Mental kompetisi sebenarnya dapat diredam bahkan dihilangkan jika kita ingin lebih saling memahami preferensi kebahagiaan anak sejak dini. Memberi mereka hal yang mereka sukai dan mendukung setiap aktifitas positifnya tentu akan menumbuhkan mental kebersamaan dalam dirinya. Sehingga tidak perlu lagi saling bermusuhan atau berkompetisi dengan orang lain demi sebuah pengakuan.
Kuncinya adalah, memahami bahwa pada setiap diri manusia, terdapat kuil suci tuhan dalam hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H